BANDITISME
1. Sifat Dasar
Perbanditan
Istilah perbanditan dipandang sangat
subyektif, dari sudut pandang mana istilah itu diberikan. Biasanya istilah itu
muncul dari kalangan penguasa yang merasa dirugikan oleh perbuatan seseorang
atau sekelompok orang. Memang perbanditan selalu mengacu pada perbuatan
individu atau kelompok yang menentang hukum. Bandit itu mencakup pengertian:
a). perampok berkawan; b). seorang yang mencuri, mambunuh dengan cara kejam dan
tanpa rasa malu; c). seorang yang mendapatkan keuntungan dengan tidak wajar;
d). musuh. Meskipun demikian bandit juga dibedakan menjadi bandit biasa (ordinary bandit) dan bandit sosial (social bandit). Pada umumnya bandit
biasa adalah seseorang yang melakukan kejahatan dengan merampok tanpa latar
belakang apapun, sedang bandit sosial adalah perbuatan seseorang untuk merampok
yang dilatarbelakangi kepentingan sosial-politik.
Gerakan perbanditan itu dilakukan
untuk menghilangkan ketidakadilan, penekanan dan eksploitasi, khususnya untuk
perbanditan pedesaan di Jawa belum mengarah pada gerakan politik untuk mencapai
kemerdekaan seperti yang dilakukan ditempat lain. Pada dasarnya ciri khas
banditisme adalah: 1). Tidak meninggalkan komunitasnya; 2). Mencerminkan nilai
moral dan ideologyi komunitasnya; 3). Perbuatannya ynag ganas konsisten dengan
ideologinya, korbannya yang dianggap musuh komunitasnya; dan 4). Ia dibantu
baik kata maupun perbuatannya oleh masyarakat. Perbanditan mengandung protes
sosial yang tidak lepas dari perasaan tidak puas, sukar melepaskan perbanditan
yang sesungguhnya dengan gerakan sosial dan gambaran situasi yang masih
primitif. Perbanditan sosial dipandang sebagai pahlawan, jago, seorang yang
musuhnya sama dengan musuh petani.
Untuk mencegah para bandit
dipedesaan kepala-kepala desa mengalami kesulitan, karena sebenarnya mereka itu
ibarat air dan ikan. Dimana seharusnya mereka berpihak.
Proses lahirnya
perbanditan berasal dari petani yang terdesak dan tertekan oleh beratnya pajak
dan kerja wajib. Dalam dunia perbanditan juga mempunyai cara untuk mengecohkan
penguasa dan korbannya. Meskipun sudah ada aturan untuk melindungi perbanditan
tetapi pemerintah harus memperkuat penjagaan dengan kerjasama pemerintah dengan
kepala desa.
2. Perbanditan Manifestasi, Protes Sosial
Keluhan dan Reaksi
Sejak masa kerajaan, kondisi
sosio-ekonomi petani tidak pernah berlebihan
Hal ini disebabkan oleh kedudukan petani yang rendah yang membawa
konsekuensi bermacam-macam. Perbanditan yang timbul di pedesaan tidak dapat
dilepaskan dengan hilangnya fungsi tanah. Dari hubungan pemilikan tanah dan
kewajiban pajak, petani juga memperoleh pendapatan berupa hasil tanah. Tetapi
perolehan petani dikonsumsikan kembali dan praktis mereka tidak mempunyai uang
kontan lagi. Pendapatan petani yang ada dibawah subsistensi selalu mengalami
penyusutan dan tampak sekali bahwa tidak sesuainya penghasilan dengan kebutuhan
hidup. Semakin maju dan luas perkebunan di pedesaan semakin cepat pula cepat
pula perubahan kehidupan petani, dapat dikatakan perkebunan dan pabrik
menguasai sektor-sektor keperluan yang hanya dapat dipenuhi oleh petani.
Di dalam proses produksi kapitalis,
petani menjadi penyedia tenaga kerja. Satu-satunya milik petani yaitu tenaga
kerja dijadikan salah satu factor produksi. Perkebunan dan pabrik hanya dapat
berjalan jika upah kerja ditekan, dan keuntungan jadi berlipat ganda jika upah
kerja itu ditekan seminimum mungkin. Kedudukan petani dan buruh sangat lemah,
mereka tidak berdaya menghadapi penguasa-penguasa. Demikianlah nasib petani,
secara structural kedudukan petani ada distrata bawah yang mau tidak mau
dikuasai struktur atas. Reaksi yang dilancarkan petani sebanding dengan tekanan
yang diterimanya, semakin berat tekanan semakin keras pula tekanannya. Kehidupan ekonomi petani yang selalu ada
dibawah, jelas tidak memberi harapan lahirnya kesejahteraan mereka. Perasaan
tidak puas yang tidak dapat ditoleransikan sebagai akibat dominasi perkebunan
mendorong petani menyiapkan diri akhirnya membulatkan tekad untuk melawan
pihak-pihak yang dianggap merugikan petani.
Ekonomi dan
Politik Perbanditan
Sejak berlakunya politik
ekonomi liberal tahun 1870, kehidupan di pedesaan tidak mnjadi makin baik
tetapi bahkan sebaliknya. Meskipun dilakukan penghapusan tanam paksa untuk
berbagai jenis tanaman, tetapi dampaknya tidak menguntungkan bagi kehidupan
petani. Secara tidak disadari pemerintah dan perusahaan perkebunan mulai
berjaga-jaga agar perusahaannya selamat. Gerakan mereka yang semula berbasis
pada gerakan tradisional, bergeser pada gerakan modern yaitu melalui organisasi
politik. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Semarang,
Surabaya, Malang, dan Pasuruan merupakan awal tempat berpijaknya para calon
pemimpin Partai Komunis Indonesia(PKI) dan Partai Nasional Indonesia(PNI).
Biasanya mereka berasal dari daerah pedesaan disekitar perkebunan yang karena
kesempatan baru mereka melanjutkan sekolah di kota-kota,di antara mereka tidak
jarang berkenalan dengan tokoh-tokoh komunis yang juga menjadi anggota SI setempat.
Dari sinilah awal mula penyebaran komunisme yang secara kebetulan mempunyai
persamaan dengan tujuan SI yang akan menyejahterakan buruh dan petani.
Partisipasi buruh petani dalam organisasi
politik dapat dilihat dari derjat atau tingkat pendidikannya. Pendidikan mereka
kebanyakan adalah rendahan dan mereka cenderung menjadi anggota organisasi
buruh yang mudah dimanfaatkan dalam setiap gerakan. Petani makin tergantung dan
terikat dengan uang sewa yang dibayarkan perkebunan. Uang sewa diberikan dalam
termin persewaan yang lama, lebih dari dua dekade yang bagi petani sangat tidak
menguntungkan yang setiap saat mengharapkan uang sewa.
3. Jenis-Jenis Perbanditan Pedesaan
Perbanditan di pedesaan
bermacam-macam jenisnya, pada dasarnya perbanditan timbul sebagai akibat
perubahan social yang diintroduksikan pemerintah colonial melalui tanah-tanah
partikelir maupun tanah perkebunan. Reaksi yang muncul dari petani karena
tekanan pajak dan kerja wajib yang berat mengakibatkan kemiskinan, penghisapan,
dan penekanan. Masuknya kultur barat ke pedesaan menyebabkan juga petani
kehilangan orientasi dan lepas dari budaya aslinya sehingga, mereka mencari
jalan keluar antara lain berupa perbanditan. Di jawa bandit dapat disamakan
dengan durjana, lun, bajingan, dan lain-lain.
Dalam laporan kolonial digunakan berbagai istilah bendewezen, roofpartij, roverbende, roverij untuk menyebut bandit.
Kecu dan rampok terdiri dari kawanan yang lebih dari 20 orang, koyok lebih dari
5 orang, dan culeg lebih dari 3 orang.
Maling atau pencuri dan begal,
meskipun sering dilakukan lebih dari seorang dapat digolongkan resistensi
individu. Yang jelas sasaran mereka individu pula yang merugikan petani. Mereka
ini digolongkan kejahatan kecil, sedangkan rampok dan kecu termasuk kejahatan besar
atau kejahatan serius. Dalam kacamata pemerintah perbanditan digolongkan
menjadi 3, yaitu: a). kriminalitas (criminal
bandit), b). perbanditan (banditry),
dan c). pemberontakan (rebellion).
Perbanditan lebih bersifat lokal dan jaringan dengan lokal lain sangat jarang,
dan bahkan diantara mereka terjadi persaingan siapa yang paling berpengaruh di
satu daerah. Perbanditan selalau
memperkuat militansinya dengan kekuatan magis-keagamaan.
4. Perbanditan Pedesaan
a. Perbanditan Banten-Batavia
Perampokan
Hampir selama abad
20an di keresidenan Banten ada dalam suasana perbanditan yang didukung oleh
berbagai lapisan masyarakat yang menjadi simpatisannya.lingkungan yang sangat
menguntungkan perbanditan termasuk kebiasaan masyarakat dengan keberanian
melawan penindas nyang disertai alat-alat perlawanan. Beberapa contoh tokoh
perbanditan dapat ditnjukan antara lain seorang bernama Sahab, ia beroperasi di
banten selatan selama bertahun-tahun. Ia berpengalaman keluar masuk penjara,
dan bahkan kemudian diangkat sebagai demang oleh Patih Lebak, agar keamanan
dapat ditegakkan. Memang benar bahwa para bandit merupakan “pelindung” dan
pemerintahan “bayangan”.
Tidak mengherankan jika keamanan dipedesaan
dapat ditegakkan dengan uang. Batavia yang sudah menjadi pelabuhan besar
didiami oleh multietnik. Pedagang-pedagang dari seluruh nusantara singgah di
kota ini dan mendirikan perkampungan mereka sendiri. Keadaan seperti ini tidak
mengherankan dengan banyaknya kerusuhan dan kriminalitas. Sudah tentu pencurian
dan perampokan sudah tidak asing di kota besar seperti Batavia. Perampokan
besar yang disebutkan dalam laporan colonial adalah yang terjadi pada tahun
1880. perampokan ini cukup meresahkan pemerintah dan harus ditanggulangi agar
tidak meluas.
b. Perbanditan Yogyakarta
Kecu dan Pencuri
Sebagaimana
diketahui bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Vorstenlanden yang kehidupan
penduduknya bertani. Daerah ini sangat subur sehingga banyak didirikan
perusahaan perkebunan, terutama tebu, tembakau, indigo, dan kopi. Perbanditan
yang lazim dikenal di daerah ini adalah kecu,
yaitu perampokan yang dilakukan lebih dari 5 orang dengan korban personil
perkebunan, orang cina, dan kepala-kepala setempat.beberapa kasus kecu dapat ditnjukkan misalnya tahun
1850, kawanan kecu bersembunyi diperbatasan
dengan keresidenan kedu, Surakarta dan Semarang, hingga susah dikejar polisi.
Upaya pencegahan terhadap merajalelenya perbanditan ini terus dilakukan sntara
lain dengan memperkuat polisi bersenjata, tetapi uasaha pemerintah tetap
sia-sia. Tindakan petani yang jengkel terhadap perkebunan yang nerugikan
mendorongnya untuk melakukan pembalasan yaitu dengan melakukan pembakaran kebun
tebu, los tembakau dan bangunan-bangunan lain. Sejak tahun 1860an pembakaran
sering terjadi karena petani banyak yang dirugikan.
Resistensi dalam bentuk individual
berupa pencuri, begal, dan pembakaran yang dilakukan seseorang tanpa diketahui
siapa pemilik atau korban kejahatan. Di antara resistensi individual yang
tercatat sangat sangat tinggi adalah angka pencurian hewan. Sejak tahun 1870
laporan tentang pencurian di daerah Yogyakarta makin banyak. Rupanya pencurian
makin meningkat dan sampai pada titik yang paling mengkhawatirkan terjadi di
daerah bantul pada tahun 1920, bahkan sampai pada tahun 1934 laporan kolonial
masih menyebut bahaya “kriminalitas”
c. Perbanditan Surakarta
Kecu
Daerah Surakarta
tidak berbeda dengan Yogyakarta, bahkan perbanditan lebih banyak terjadi. Di
samping daerahnya subur di daerah perkebunannya juga banyak. Di daerah ini
perbanditan meliputi jenis individual dan juga kolektif. Pencurian dan
pembakaran lebih menunjukkan kegiatan perseorangan, sedangkan kecu merupakan kegiatan kolektif yang
sangat dominan, dan berani berhadapan dengan korban dan bukan hanya itu tetapi
juga memaksa, menyiksa, dan tidak segan-segan membunuh korban. Sejak tahun 1830
kecu telah beroperasi di Surakarta
dengan korban para penguasa lokal dan orang-orang kaya. Pada tahun 1871 terjadi
beberapa kali pengkecuan. Pada malam 12 april Ngabehi Onggodimejo di desa
keringan klaten menjadi korban kecu.
Setelah
berhasil mengambil kekayaan kawanan bandit melarikan diri dengan aman. Keadaan
pedesaan yang tidak aman sangat tergantung pada kecu dan factor eksternal yang ikut mendorong kegiatan mereka. Pada
tahun 1915 pengkecuan di Surakarta jumlahnya relative lebih besar. Aktivitas kecu masih menunjukkan frekuensi yang
tinggi disbanding dengan masa-masa, kemudian setelah munculnya organisasi
politik modern yang mampu memberi wadah resistensi masyarakat pedesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar