Jumat, 26 Juli 2013

BANDITISME


 BANDITISME

1. Sifat Dasar Perbanditan
            Istilah perbanditan dipandang sangat subyektif, dari sudut pandang mana istilah itu diberikan. Biasanya istilah itu muncul dari kalangan penguasa yang merasa dirugikan oleh perbuatan seseorang atau sekelompok orang. Memang perbanditan selalu mengacu pada perbuatan individu atau kelompok yang menentang hukum. Bandit itu mencakup pengertian: a). perampok berkawan; b). seorang yang mencuri, mambunuh dengan cara kejam dan tanpa rasa malu; c). seorang yang mendapatkan keuntungan dengan tidak wajar; d). musuh. Meskipun demikian bandit juga dibedakan menjadi bandit biasa (ordinary bandit) dan bandit sosial (social bandit). Pada umumnya bandit biasa adalah seseorang yang melakukan kejahatan dengan merampok tanpa latar belakang apapun, sedang bandit sosial adalah perbuatan seseorang untuk merampok yang dilatarbelakangi kepentingan sosial-politik.
            Gerakan perbanditan itu dilakukan untuk menghilangkan ketidakadilan, penekanan dan eksploitasi, khususnya untuk perbanditan pedesaan di Jawa belum mengarah pada gerakan politik untuk mencapai kemerdekaan seperti yang dilakukan ditempat lain. Pada dasarnya ciri khas banditisme adalah: 1). Tidak meninggalkan komunitasnya; 2). Mencerminkan nilai moral dan ideologyi komunitasnya; 3). Perbuatannya ynag ganas konsisten dengan ideologinya, korbannya yang dianggap musuh komunitasnya; dan 4). Ia dibantu baik kata maupun perbuatannya oleh masyarakat. Perbanditan mengandung protes sosial yang tidak lepas dari perasaan tidak puas, sukar melepaskan perbanditan yang sesungguhnya dengan gerakan sosial dan gambaran situasi yang masih primitif. Perbanditan sosial dipandang sebagai pahlawan, jago, seorang yang musuhnya sama dengan musuh petani.
            Untuk mencegah para bandit dipedesaan kepala-kepala desa mengalami kesulitan, karena sebenarnya mereka itu ibarat air dan ikan. Dimana seharusnya mereka berpihak.
Proses lahirnya perbanditan berasal dari petani yang terdesak dan tertekan oleh beratnya pajak dan kerja wajib. Dalam dunia perbanditan juga mempunyai cara untuk mengecohkan penguasa dan korbannya. Meskipun sudah ada aturan untuk melindungi perbanditan tetapi pemerintah harus memperkuat penjagaan dengan kerjasama pemerintah dengan kepala desa.

2. Perbanditan Manifestasi, Protes Sosial
Keluhan dan Reaksi
            Sejak masa kerajaan, kondisi sosio-ekonomi petani tidak pernah berlebihan  Hal ini disebabkan oleh kedudukan petani yang rendah yang membawa konsekuensi bermacam-macam. Perbanditan yang timbul di pedesaan tidak dapat dilepaskan dengan hilangnya fungsi tanah. Dari hubungan pemilikan tanah dan kewajiban pajak, petani juga memperoleh pendapatan berupa hasil tanah. Tetapi perolehan petani dikonsumsikan kembali dan praktis mereka tidak mempunyai uang kontan lagi. Pendapatan petani yang ada dibawah subsistensi selalu mengalami penyusutan dan tampak sekali bahwa tidak sesuainya penghasilan dengan kebutuhan hidup. Semakin maju dan luas perkebunan di pedesaan semakin cepat pula cepat pula perubahan kehidupan petani, dapat dikatakan perkebunan dan pabrik menguasai sektor-sektor keperluan yang hanya dapat dipenuhi oleh petani.
            Di dalam proses produksi kapitalis, petani menjadi penyedia tenaga kerja. Satu-satunya milik petani yaitu tenaga kerja dijadikan salah satu factor produksi. Perkebunan dan pabrik hanya dapat berjalan jika upah kerja ditekan, dan keuntungan jadi berlipat ganda jika upah kerja itu ditekan seminimum mungkin. Kedudukan petani dan buruh sangat lemah, mereka tidak berdaya menghadapi penguasa-penguasa. Demikianlah nasib petani, secara structural kedudukan petani ada distrata bawah yang mau tidak mau dikuasai struktur atas. Reaksi yang dilancarkan petani sebanding dengan tekanan yang diterimanya, semakin berat tekanan semakin keras pula tekanannya.  Kehidupan ekonomi petani yang selalu ada dibawah, jelas tidak memberi harapan lahirnya kesejahteraan mereka. Perasaan tidak puas yang tidak dapat ditoleransikan sebagai akibat dominasi perkebunan mendorong petani menyiapkan diri akhirnya membulatkan tekad untuk melawan pihak-pihak yang dianggap merugikan petani.

Ekonomi dan Politik Perbanditan
            Sejak berlakunya politik ekonomi liberal tahun 1870, kehidupan di pedesaan tidak mnjadi makin baik tetapi bahkan sebaliknya. Meskipun dilakukan penghapusan tanam paksa untuk berbagai jenis tanaman, tetapi dampaknya tidak menguntungkan bagi kehidupan petani. Secara tidak disadari pemerintah dan perusahaan perkebunan mulai berjaga-jaga agar perusahaannya selamat. Gerakan mereka yang semula berbasis pada gerakan tradisional, bergeser pada gerakan modern yaitu melalui organisasi politik. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang, dan Pasuruan merupakan awal tempat berpijaknya para calon pemimpin Partai Komunis Indonesia(PKI) dan Partai Nasional Indonesia(PNI). Biasanya mereka berasal dari daerah pedesaan disekitar perkebunan yang karena kesempatan baru mereka melanjutkan sekolah di kota-kota,di antara mereka tidak jarang berkenalan dengan tokoh-tokoh komunis yang juga menjadi anggota SI setempat. Dari sinilah awal mula penyebaran komunisme yang secara kebetulan mempunyai persamaan dengan tujuan SI yang akan menyejahterakan buruh dan petani.
 Partisipasi buruh petani dalam organisasi politik dapat dilihat dari derjat atau tingkat pendidikannya. Pendidikan mereka kebanyakan adalah rendahan dan mereka cenderung menjadi anggota organisasi buruh yang mudah dimanfaatkan dalam setiap gerakan. Petani makin tergantung dan terikat dengan uang sewa yang dibayarkan perkebunan. Uang sewa diberikan dalam termin persewaan yang lama, lebih dari dua dekade yang bagi petani sangat tidak menguntungkan yang setiap saat mengharapkan uang sewa.

3. Jenis-Jenis Perbanditan Pedesaan
            Perbanditan di pedesaan bermacam-macam jenisnya, pada dasarnya perbanditan timbul sebagai akibat perubahan social yang diintroduksikan pemerintah colonial melalui tanah-tanah partikelir maupun tanah perkebunan. Reaksi yang muncul dari petani karena tekanan pajak dan kerja wajib yang berat mengakibatkan kemiskinan, penghisapan, dan penekanan. Masuknya kultur barat ke pedesaan menyebabkan juga petani kehilangan orientasi dan lepas dari budaya aslinya sehingga, mereka mencari jalan keluar antara lain berupa perbanditan. Di jawa bandit dapat disamakan dengan durjana, lun, bajingan, dan lain-lain. Dalam laporan kolonial digunakan berbagai istilah bendewezen, roofpartij, roverbende, roverij untuk menyebut bandit. Kecu dan rampok terdiri dari kawanan yang lebih dari 20 orang, koyok lebih dari 5 orang, dan culeg lebih dari 3 orang.
            Maling atau pencuri dan begal, meskipun sering dilakukan lebih dari seorang dapat digolongkan resistensi individu. Yang jelas sasaran mereka individu pula yang merugikan petani. Mereka ini digolongkan kejahatan kecil, sedangkan rampok dan kecu termasuk kejahatan besar atau kejahatan serius. Dalam kacamata pemerintah perbanditan digolongkan menjadi 3, yaitu: a). kriminalitas (criminal bandit), b). perbanditan (banditry), dan c). pemberontakan (rebellion). Perbanditan lebih bersifat lokal dan jaringan dengan lokal lain sangat jarang, dan bahkan diantara mereka terjadi persaingan siapa yang paling berpengaruh di satu daerah.  Perbanditan selalau memperkuat militansinya dengan kekuatan magis-keagamaan.

4. Perbanditan Pedesaan
a. Perbanditan Banten-Batavia
Perampokan
            Hampir selama abad 20an di keresidenan Banten ada dalam suasana perbanditan yang didukung oleh berbagai lapisan masyarakat yang menjadi simpatisannya.lingkungan yang sangat menguntungkan perbanditan termasuk kebiasaan masyarakat dengan keberanian melawan penindas nyang disertai alat-alat perlawanan. Beberapa contoh tokoh perbanditan dapat ditnjukan antara lain seorang bernama Sahab, ia beroperasi di banten selatan selama bertahun-tahun. Ia berpengalaman keluar masuk penjara, dan bahkan kemudian diangkat sebagai demang oleh Patih Lebak, agar keamanan dapat ditegakkan. Memang benar bahwa para bandit merupakan “pelindung” dan pemerintahan “bayangan”.
 Tidak mengherankan jika keamanan dipedesaan dapat ditegakkan dengan uang. Batavia yang sudah menjadi pelabuhan besar didiami oleh multietnik. Pedagang-pedagang dari seluruh nusantara singgah di kota ini dan mendirikan perkampungan mereka sendiri. Keadaan seperti ini tidak mengherankan dengan banyaknya kerusuhan dan kriminalitas. Sudah tentu pencurian dan perampokan sudah tidak asing di kota besar seperti Batavia. Perampokan besar yang disebutkan dalam laporan colonial adalah yang terjadi pada tahun 1880. perampokan ini cukup meresahkan pemerintah dan harus ditanggulangi agar tidak meluas.

b. Perbanditan Yogyakarta
Kecu dan Pencuri
            Sebagaimana diketahui bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Vorstenlanden yang kehidupan penduduknya bertani. Daerah ini sangat subur sehingga banyak didirikan perusahaan perkebunan, terutama tebu, tembakau, indigo, dan kopi. Perbanditan yang lazim dikenal di daerah ini adalah kecu, yaitu perampokan yang dilakukan lebih dari 5 orang dengan korban personil perkebunan, orang cina, dan kepala-kepala setempat.beberapa kasus kecu dapat ditnjukkan misalnya tahun 1850, kawanan kecu bersembunyi diperbatasan dengan keresidenan kedu, Surakarta dan Semarang, hingga susah dikejar polisi. Upaya pencegahan terhadap merajalelenya perbanditan ini terus dilakukan sntara lain dengan memperkuat polisi bersenjata, tetapi uasaha pemerintah tetap sia-sia. Tindakan petani yang jengkel terhadap perkebunan yang nerugikan mendorongnya untuk melakukan pembalasan yaitu dengan melakukan pembakaran kebun tebu, los tembakau dan bangunan-bangunan lain. Sejak tahun 1860an pembakaran sering terjadi karena petani banyak yang dirugikan.
            Resistensi dalam bentuk individual berupa pencuri, begal, dan pembakaran yang dilakukan seseorang tanpa diketahui siapa pemilik atau korban kejahatan. Di antara resistensi individual yang tercatat sangat sangat tinggi adalah angka pencurian hewan. Sejak tahun 1870 laporan tentang pencurian di daerah Yogyakarta makin banyak. Rupanya pencurian makin meningkat dan sampai pada titik yang paling mengkhawatirkan terjadi di daerah bantul pada tahun 1920, bahkan sampai pada tahun 1934 laporan kolonial masih menyebut bahaya “kriminalitas”

c.  Perbanditan Surakarta
Kecu
            Daerah Surakarta tidak berbeda dengan Yogyakarta, bahkan perbanditan lebih banyak terjadi. Di samping daerahnya subur di daerah perkebunannya juga banyak. Di daerah ini perbanditan meliputi jenis individual dan juga kolektif. Pencurian dan pembakaran lebih menunjukkan kegiatan perseorangan, sedangkan kecu merupakan kegiatan kolektif yang sangat dominan, dan berani berhadapan dengan korban dan bukan hanya itu tetapi juga memaksa, menyiksa, dan tidak segan-segan membunuh korban. Sejak tahun 1830 kecu telah beroperasi di Surakarta dengan korban para penguasa lokal dan orang-orang kaya. Pada tahun 1871 terjadi beberapa kali pengkecuan. Pada malam 12 april Ngabehi Onggodimejo di desa keringan klaten menjadi korban kecu.
Setelah berhasil mengambil kekayaan kawanan bandit melarikan diri dengan aman. Keadaan pedesaan yang tidak aman sangat tergantung pada kecu dan factor eksternal yang ikut mendorong kegiatan mereka. Pada tahun 1915 pengkecuan di Surakarta jumlahnya relative lebih besar. Aktivitas kecu masih menunjukkan frekuensi yang tinggi disbanding dengan masa-masa, kemudian setelah munculnya organisasi politik modern yang mampu memberi wadah resistensi masyarakat pedesaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar