LEBANON
Timur
Tengah adalah istilah yang sering disebut oleh pihak Barat. Jika dalam konteks
sesungguhnya, maka yang paling tepat adalah kawasan Asia Barat. Kawasan ini
adalah kawasan yang paling tegang di seantero jagat. Dikatakan demikian karena
dibeberapa wilayahnya banyak terjadi konflik yang dilator belakangi oleh
berbagai hal hingga berlarut-larut sampai sekarang.
Salah
satu kawasan yang terpanas di kawasan Timur Tengah adalah Libanon. Konflik
antar golongan pada awalnya meledak pada tahun 1958, tetapi pada tahun itu juga
konflik bisa segera dihentikan,namun kemudian konflik meledak lagi pada tahun
1975 dan berkembang menjadi perang saudara. Perang saudara ini telah berkembang
menjadi konflik antar kepentingan yang pada awalnya, konflik ini terjadi antara
pihak yang pro dan kontra status-kuo. Hingga susah membedakan mana kawan mana
lawan. Satu hari jadi kawan, namun esoknya akan menjelma menjadi lawan yang
menakutkan. Itulah gambaran yang terjadi pada masyarakat Libanon saat ini.
Dahulu Libanon yang dijuluki sebagai tamannya para turis kini menjelma menjadi
tamannya para teroris.
Tentunya
dibalik perang saudara di Libanon, tidak bisa lepas dari beberapa golongan atau
pihak yang memiliki kepentingan terhadap Konflik Libanon. Disamping beberapa
golongan masyarakat yang hidup di Libanon, konflik Libanon tidak bisa
dilepaskan dari campur tangan bangsa asing yang mempunyai kepentingan
tersendiri.
A.
Latar Belakang Sejarah
Republik
Lebanon adalah
sebuah negara di Timur Tengah, sepanjang Laut Tengah, dan berbatasan dengan Suriah di utara dan timur, dan Israel di selatan. Bendera Lebanon menampilkan sebuah pohon aras berwarna hijau dengan latar belakang putih, diapit oleh dua garis merah
horisontal di atas dan bawahnya. Karena keanekaragamannya yang sektarian, Lebanon menganut sebuah sistem politik khusus, yang dikenal sebagai konfesionalisme, yang dimaksudkan untuk membagi-bagi kekuasaan semerata
mungkin di antara aliran-aliran agama yang berbeda-beda. Nama Lebanon
("Lubnān" dalam bahasa Arab standar; "Lebnan" atau
"Lebnèn" dalam dialek setempat) berasal dari akar bahasa Semit "LBN", yang terkait dengan
sejumlah makna yang berhubungan erat dalam berbagai bahasa, seperti misalya putih
dan susu. Ini dianggap sebagai rujukan kepada Gunung Lebanon yang berpuncak salju.Nama ini muncul dalam tiga dari 12
lempengan Epos
Gilgames (2900 SM),
teks perpustakaan Ebla (2400
SM), dan Alkitab.Kata Lebanon juga disebutkan
71 dalam Perjanjian
Lama.
Libanon sendiri mempunyai luas wilayah
sekitar 10.400 kilometer persegi yang terbagi dalam empat wilayah besar yaitu:
daratan pantai (coastal plain), lembah Beeka (Biqa), Pegunungan
Libanon, dan pegunungan Anti-Libanon, dengan jumlah penduduk mencapai 1.625.000
jiwa. Namun diantara beberapa wilayah tersebut adalah daratan Pantai yang paling
penting kedudukannya meskipun cakupan wilayahnya tidak terlalu luas karena
disana terdapat kota-kota besar dan terpenting di Libanon seperti Beirut,
Tripoli, dan Sidon. Daerah Beirut memiliki jumlah penduduk sekitar 400.000
jiwa, dan Tripoli 150.000 jiwa, dan GNP Libanon sebesar US$
2.900.000.000 pada tahun 1973, merupakan sebuah negara kecil yang amat
menarik., karena Libanon adalah satu-satunya negeri di kawasan Arab yang
setelah merdeka memiliki masyarakat mayoritas Kristen. Sebelum Perancis
menjadikan Libanon sebagai daerah mandatnya, pada era Perang Dunia I dan
kebelakang Libanon adalah daerah kekuasaan kekaisaran Ottoman selama empat abad
lamanya, sehingga ketika mempersiapkan kemerdekaan Libanon, Perancis mengkonsep
peta kekuatan pemerintahan berdasarkan perimbangan kekuatan masing-masing
golongan masyarakat karena banyaknya golongan atau agama yang ada di Libanon.
Komposisi
rakyat Libanon tidak homogen artinya terbagi dalam dua kelompok besar yaitu
umat Kristen dan Muslim yang kemudian terbagi lagi kedalam kelmpok-kelompok
kecil didalamnya. Golongan Kristen mencakup beberapa kelompok seperti Kristen
Maronit “terbesar”, Yunani Ortodoks, Yunani Katolik, Armenia Ortodoks,
Protestan dan beberapa kelompok kecil lainnya. Sedangkan golongan Islam terdiri
dari kelompok Sunni, Siah, dan Druze (yang kemudian tidak termasuk golongan
Islam karena ada beberapa ajarannya bertentangan dengan Islam) dan golongan
lainnya.
Golongan-golongan
yang sekarang mempunyai peranan penting dalam perjalanan politik Libanon adalah
Maronit, Siah, dan Druze.Berbeda halnya dengan golongan yang lainnya, Maronit
mendiami Libanon sejak abad ke- 7. Ini tidak bisa dilepaskan dari gelombang
masuknya tentara-tentara Kristen dalam perang Salib di Timur Tengah untuk
menyerang pasukan Islam. Golongan Siah baru masuk Libanon sekitar abad ke- 11,
yang berasal dari umat Siah sekte Fatimiah dari Mesir, setelah mereka kalah
terhadap dinasti Ayyub yang Sunni di Mesir. Beberapa orang-orang Siah kemudian
membentuk sekte sendiri yaitu Druze yang diambil dari nama pemimpinnya yaitu
Muhammad Al-Darazi (985-1021).Dan golongan Sunni masuk ke Libanon baru
pada tahun 1289 setelah pasukan dari dinasti Mamluk, Mesir berhasil merebut
Tripoli dan daerah-daerah pantai lainnya.
Ketika
diadakan sensus penduduk pada tahun 1932, oleh pemerintah Perancis, terlihat
mayoritas penduduk Libanon dari golongan Maronit, yang bertahan
kemayoritasannya hingga tahun 1975. Hasil sensus penduduk ini dipakai untuk
menyusun kekuatan nasional atau Pakta Nasional (al-mithaq al-wathani)
1943 ketika Libanon diberikan kemerdekaan, dan berdasarkan konstitusi Mei 1926,
tentang struktur politik Libanon bahwa hak legislatif berada di tangan parlemen
dan hak eksekutif berada pada presiden. Berdasarkan hasil tersebut, maka diatur
sedemikian rupa prseiden dari golongan Maronit, Perdana Menteri dari golongan
Sunni, dan Ketua Parlemen dari golongan Siah. Ketika terjadi suatu Pakta
Nasional, pemimpin-pemimpin umat Kristen dan Muslim membuat suatu kesepakatan
yang menyebutkan bahwa persaudaraan seluruh rakyat yang berlandaskan pada
kemerdekaan Libanon. Umat Kristen mengakui dan menghormati watak Arab Libanon
dan melepaskan keterikatan mereka dengan negara-negara Barat sedangkan umat
Muslim berjanji untuk membela kedaulatan negeri dan melepaskan tuntutan untuk
bersatu dengan Suriah atau negara-negara Arab lainnya. Adapun komposisi di
parlemen adalah 99 orang yang terdiri 30 Maronit, 20 Sunni, 19 Siah, 11
Ortodoks Yunani, 6 Druze, 6 Katolik Yunani, 5 Armenia dan 2 untuk golongan
kristen lainnya.
Jadi,
Perancis dalam menyiapkan struktur politik Libanon dengan apa yang disebut
Pakta Nasional didasarkan pada distribusi agama yang terdapat dalam masyarakat
Libanon. Sesungguhnya hal ini adalah kesalahan yang sangat fatal, karena
dikemudian hari ketika terjadi ketimpangan sosial karena ekonomi dan semakin
meningkatnya golongan Muslim yang membuat kaum Maronit tidak mayoritas lagi,
menimbulkan akar dari Konflik berkepanjangan di Libanon. Konflilk yang awalnya
terbatas pada pertentangan status-kuo, kini menjelma menjadi perang saudara,
dan peramg saudara dalam saudara artinya didalam saudara sendiri masih terjadi
perang dengan golongan yang ada didalamnya. Strategi Perancis ini merupakan
bukti dari kegagalan terbesar dari nasionalisme mimetic yang memberikan
khayalan kepada rakyat di bekas negara jajahan “mandat” mereka, bahwa mereka
“Libanon”, dapat membangun kembali idebntitas maupun kemurnian mereka melalui
bentuk negara-bangsa.
B.
Kedatangan Bangsa Barat di Lebanon
Awal berkecamuknya perang atau konflik yang
terjadi di Libanon tentunya tidak bisa dilepaskan dari peranan Perancis
membentuk negara Libanon. Libanon dalam sistem politiknya dibentuk berdasarkan
pembagian perimbangan kekuatan golongan agama, menanamkan benih-benih
perpecahan.
Kebijakan
Perancis diperparah pula dengan politik diskriminasi sebelumnya terutama dalam
bidang pendididikan. Golongan yang mendapat akses layak hanyalah dari Maronit,
sehingga selanjutnya melahirkan jurang kepincangan sosial antara golongan
Maronit yang kaya raya dengan golongan yang lain yang serba kekurangan.Serta
faktor terakhir dari munculnya konflik di Libanon adalah kehadiran
pengungsi-pengsungsi dari Palestina. Akibat dari perang Arab-Israel I tahun
1948-1949, rakyat Palestina mengalami Palestinians Diaspora atau
Palestinians Exodus, yaitu pengungsian secara besar-besaran rakyat
Palestina yang berjumlah sekitar 940.000 orang yang menyebar ke berbagai negara
baik dibawah kontrol Arab maupun negara lain termasuk Libanon. Pada tahun 1948,
persebaran pengungsi Palestina di Libanon mencapai 104.000, tahun 1967 setelah
kekalahan Arab dalam The Six War Days, jumlahnya meningkat menjadi
161.000, tahun 1977 menjadi 260.000, dan tahun 1987 meningkat menjadi 350.000
orang. Bertambahnya orang-orang palestina ini, tentunya tidak diharapkan oleh
golongan Maronit karena hal ini dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan antara
Islam dan Non-Islam serta dengan adanya warga Palestina menyebabkan serangan
Israel sering terjadi sehingga mengancam keamanan nasional. Sebaliknya,
golongan Islam menyambut baik kedatangan warga Palestina atas dasar solidaritas
keagamaan.
C. Kedatangan Berbagai
Bangsa di Lebanon
1) Suriah
Awal Suriah
melibatkan diri di Libanon sejak Januari 1976, tepatnya 9 bulan pasca
meletusnya perang saudara di Libanon. Mulanya Suriah terlibat untuk berniat
sebagai penengah dengan berusaha mendamaikan piha-pihak yang berkonflik, dan
kemudian mulai aktif terlibat ketika golongan Islam dan Palestina hampir meraih
kemenangan.
Tindakan Suriah dengan membantu golongan Kristen
dalam perang saudara ini dikecam oleh negara-negara Arab yang lain dan Uni
Soviet (penyuplai senjata Suriah), segera setelah itu negara-negara Arab
mengehentikan bantuan-bantuan terhadap Suriah. Dalam posisi ini, Suriah tidak
menginginkan pihak manapun yang menang, sehingga mencegah kemenangan Islam dan
Palestina namun tidak membiarkan Kristen yang menang. Alasan dari Suriah dalam
tindakan tersebut bisa dilihat dari dua sisi yaitu: (1) Dari sisi strategis,
Suriah ingin menjadikan Libanon sebgai “buffer state” negara penyangga
dari serangan Israel, karena selama perang Arab-Israel Suriah adalah negara
yang paling banyak kehilangan wilayahnya seperti dataran tinggi Golan. (2) Dari
sisi histioris, Suriah ingin membentuk Libanon yang sangat terpengaruh
terhadapnya. Karena sebelum kedatangan imperialis Eropa, Libanon merupakan
bagian integral dari Suriah pada zaman dahulu yang lebih dikenal dengan Suriah
Raya atau negeri Syam, ketika masa kejayaannya, sehingga Pakta-Nasional ala
Perancis sangat tidak disetujui oleh Suriah.
Tercatat,
sejak 11 tahun awal masuknya Suriah ke Libanon, 30.000 pasukan Suriah masih
berada di Libanon. Kelompok-kelompok milisi dari golongan yang bertikai sendiri
seperti Amal Siah, Druze, dan Sunni juga mendapat suplai senjata dan dana dari
Suriah. Memang, tujuan Suriah menciptakan perdamaian di Lebanon dengan
menancapkan pengaruhnya di Libanon belum usai, namun minimal Libanon suskes
dijadikan buffer stat” terhadap serangan Israel.
2)
Israel
Sama halnya dengan Suriah, Israel melibatkan
diri pada konflik Libanon karena ingin menjadikannya sebagai buffer state
tapi terutama bukan dari Suriah, melainkan dari ancaman gerilyawan Palestinan
di Libanon Selatan terutama pada 1970-an karena seringnya serangan dari Libanon
Selatan Pada perkembangan berikutnya Israel juga mendukung gerakan pembebasan
wilayah Libanon Selatan yang bersekutu dengan Israel.
Israel mulai terjun aktif dalam konflik Libanon
sejak intervensinya pada Maret 1978. Tujuan utama dari intervensi ini adalah
untuk melemahkan kedudukan gerilyawan palestina yang ada di Libanon Selatan
selain juga mendukung Mayor Saad Hadad yaitu komandan SLA (yaitu milisi pecahan
partai Phalangis “Maronit” yang mempunyai hubungan erat dengan Israel”) yang
memplokamirkan negara Libanon merdeka di Libanon Selatan. Pasukan Israel baru
ditarik mundur dari sana setelah kedatangan pasukan UNIFIL PBB (United
Nations Interim Forces in Lebanon).
Juni 1982 Israel melancarkan intervensinya yang
kedua dengan tidak hanya wilayah Libanon Selatan bahkan sampai ibu kota Beirut
yang disokong oleh kekuatan tempur memadai dengan 3.500 tank serta pesawat
tempur F-15 dan F-16. Operasi ini dinamakan dengan Operation Peace for
Galilee, Operasi Damai Untuk Galilee. Bukan hanya kamp-kamp pengungsi
Palestina saja yang diserang, pertempuran juga tidak bisa dihindari antara
Israel dengan Suriah di lembah Beeka, sehingga Israel melawan gabungan pasukan
Palsestina-Islam dan Libanon-Suriah. Akibat dari inervensi Israel
tersebut, akhirnya PLO memindahkan markas besarnya di Tunisia. 17 Mei 1983,
akhirnya Israel menandatangani perjanjian tentang penarikan pasukan Israel dan
jaminan keamanan bagi Israel. Namun dengan tekanan dari berbagai pihak, Amin
Gemayel membatalkan perjanjian sepihak pada 5 Maret 1984. Namun hingga sekarang
Israel masih melibatkan diri dengan mendukung gerakan SLA dan serangan terhadap
kamp-kamp pengungsi Palestina
3)
Iran
Salah satu kebijakan pokok politik luar negeri
Iran setelah meletusnya Revolusi Islam Iran adalah pembebasan Lebanon Selatan.
Realisasinya adalah penyuplaian senjata dan peluru kepada kelompok Siah dan
membentuk faksi Hezbollah dan Amal Syiah di Libanon dibawah pimpinan tokoh
spiritual Siah, Seikh Hosein Mosawi. Tahun 1982, mengirim pasukan pengawal
revolusi untuk melatih kaum Siah di Baalbeek untuk menggayang Israel. Dan
ketika Israel melancarkan serangan ke Libanon Selatan, Iran mengirim 500
pasukan pengawal revolusi untuk memerangi Israel dan bantuan dana 500 juta
dollar.
Beberapa kelompok milisi yang berafiliasi dengan
pemerintahan Iran adalah Amal Siah, Hezbollah, dan Tauhid yang Sunni tetapi
menghendaki pemerintahan model Islam Iran. Pada perkembangan selanjutnya,
Hezbollah bisa berdiri sendiri meskipun tetap berhubungan dengan Dubes Iran di
Damascus pada saat itu, Ali Akbar Muhtasyime. Pada tahun 1984 dan akhir tahun
1985 Iran mendorong kelompok-kelompok Islam untuk meningkatkan serangannya
terhadap Israel sehingga pada akhir 1986, Israel menarik mundur pasukannya dari
Libanon Selatan. Namun ketika Siah mengalami konflik intern di Libanon, Iran
lebih condong ke Hezbolah dan Suriah pada Amal Siah. 1989, perubahan politik
luar negeri Iran ditandai dengan terpilihnya Hashemi Rafsanjani sebagai
presiden Iran dan memutuskan untuk tidak mentransfer Revolusi Islam Iran ke
Libanon
D. Pakta Nasional dalam Implikasinya bagi Lebanon
Cikal-bakal perang saudara di Libanon mulai
memuncak pada tahun 1958. Ketika Camille Chamoun berkuasa, dengan menerima
(“Doktrin Eisenhower” dari AS pada tahun 1947). Pemerintahannya meninggalkan
kesepakatan Pakta-Nasional yang telah disetujui oleh berbagai tokoh agama
Libanon yang salah satunya adalah Libanon tidak memihak terhadap Barat Keadaan
ini juga diperparah dengan banyaknya tantangan terhadap rencana Camille
Chamoun, itu untuk mencalonkan diri kembali menjadi presiden padahal konstitusi
Libanon tidak memperkenankan rencana tersebut. Dengan adanya intervensi dari AS
untuk menghentikan konflik yang tentunya atas permintaan Chamoun, pada tanggal
23 September 1958 konflik dapat dihentikan, kemudian Fuad Chehab menjabat
sebagai presiden.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perjalanan konflik Libanon ketika pecah perang
saudara ternyata tidak bisa dilepaskan dari peranan negara-negara asing yang
selain membantu suatu kelompok juga untuk mencapai tujuan mereka melalui
kelompok-kelompok milisi yang bertikai di Libanon.
Suriah, turut campur dalam konflik Libanon mempunyai tujuan untuk menjadikan
Libanon sebagai buffer state terhdap serangan Israel dan tentunya untuk
mewujudkan Libanon yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Suriah untuk
membangkitkan kembali Suriah Raya atau negeri Syam. Tidak berbeda jauh dengan
Suriah, Israel melibatkan diri di Libanon juga untuk menjadikannya sebagai buffer
state, namun tidak dari serangan Suriah melainkan dari serangan para
gerilyawan Palestina yang setiap saat mengancam keselamatan jiwa rakyat Israel,
serta tujuan lain dari Israel yaitu mendukung pendirian negara Libanon Merdeka
yang bersekutu dengan Israel.
Lain Suriah, lain Israel, lain lagi dengan Iran. Iran melibatkan diri pada
konflik Libanon bertujuan untuk mendukung pembebasan wilayah Libanon Selatan
baik dari pendudukan Israel dan kedaulatan Libanon. Iran juga mendukung
perjuangan gerilyawan Palestina untuk mengganyang Israel. Iran juga ingin
mewujudkan Libanon sebagai negara yang melanjutkan Revolusi Islam ala Iran di
Libanon yang didukung oleh beberapa kelompok Islam di Libanon.
Konflik di Libanon, berlangsung lama karena didalamnya ditumpangi oleh berbagai
kepentingan, yang bukan hanya golongan namun juga kepentingan suatu negara.
Semoga kedamaian yang telah dicapai saat ini dengan terpilihnya Michel Suleiman
sebagai presiden sementara, dan pengesahan Undang-Undang Baru yang akan
diberlakukan pada Pemilu 2009 nanti memberikan jalan keluar bagi masyarakat
supaya tidak terjerumus pada limbah perang suadara yang pernah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
# Dipoyudo,kirdi.1981.Timur Tengah Pusaran
Strategis Dunia.CSIS: Jakarta.
# B.Wolters.1954.Sejarah Umum 3 Asia dan Dunia
sejak 1500. G.Roningen : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar