Jumat, 26 Juli 2013

LEBANON


 LEBANON
Timur Tengah adalah istilah yang sering disebut oleh pihak Barat. Jika dalam konteks sesungguhnya, maka yang paling tepat adalah kawasan Asia Barat. Kawasan ini adalah kawasan yang paling tegang di seantero jagat. Dikatakan demikian karena dibeberapa wilayahnya banyak terjadi konflik yang dilator belakangi oleh berbagai hal hingga berlarut-larut sampai sekarang.
Salah satu kawasan yang terpanas di kawasan Timur Tengah adalah Libanon. Konflik antar golongan pada awalnya meledak pada tahun 1958, tetapi pada tahun itu juga konflik bisa segera dihentikan,namun kemudian konflik meledak lagi pada tahun 1975 dan berkembang menjadi perang saudara. Perang saudara ini telah berkembang menjadi konflik antar kepentingan yang pada awalnya, konflik ini terjadi antara pihak yang pro dan kontra status-kuo. Hingga susah membedakan mana kawan mana lawan. Satu hari jadi kawan, namun esoknya akan menjelma menjadi lawan yang menakutkan. Itulah gambaran yang terjadi pada masyarakat Libanon saat ini. Dahulu Libanon yang dijuluki sebagai tamannya para turis kini menjelma menjadi tamannya para teroris.
Tentunya dibalik perang saudara di Libanon, tidak bisa lepas dari beberapa golongan atau pihak yang memiliki kepentingan terhadap Konflik Libanon. Disamping beberapa golongan masyarakat yang hidup di Libanon, konflik Libanon tidak bisa dilepaskan dari campur tangan bangsa asing yang mempunyai kepentingan tersendiri.
A.    Latar Belakang Sejarah
Republik Lebanon adalah sebuah negara di Timur Tengah, sepanjang Laut Tengah, dan berbatasan dengan Suriah di utara dan timur, dan Israel di selatan. Bendera Lebanon menampilkan sebuah pohon aras berwarna hijau dengan latar belakang putih, diapit oleh dua garis merah horisontal di atas dan bawahnya. Karena keanekaragamannya yang sektarian, Lebanon menganut sebuah sistem politik khusus, yang dikenal sebagai konfesionalisme, yang dimaksudkan untuk membagi-bagi kekuasaan semerata mungkin di antara aliran-aliran agama yang berbeda-beda. Nama Lebanon ("Lubnān" dalam bahasa Arab standar; "Lebnan" atau "Lebnèn" dalam dialek setempat) berasal dari akar bahasa Semit "LBN", yang terkait dengan sejumlah makna yang berhubungan erat dalam berbagai bahasa, seperti misalya putih dan susu. Ini dianggap sebagai rujukan kepada Gunung Lebanon yang berpuncak salju.Nama ini muncul dalam tiga dari 12 lempengan Epos Gilgames (2900 SM), teks perpustakaan Ebla (2400 SM), dan Alkitab.Kata Lebanon juga disebutkan 71 dalam Perjanjian Lama.
Libanon sendiri mempunyai luas wilayah sekitar 10.400 kilometer persegi yang terbagi dalam empat wilayah besar yaitu: daratan pantai (coastal plain), lembah Beeka (Biqa), Pegunungan Libanon, dan pegunungan Anti-Libanon, dengan jumlah penduduk mencapai 1.625.000 jiwa. Namun diantara beberapa wilayah tersebut adalah daratan Pantai yang paling penting kedudukannya meskipun cakupan wilayahnya tidak terlalu luas karena disana terdapat kota-kota besar dan terpenting di Libanon seperti Beirut, Tripoli, dan Sidon. Daerah Beirut memiliki jumlah penduduk sekitar 400.000 jiwa, dan Tripoli 150.000 jiwa,   dan GNP Libanon sebesar US$ 2.900.000.000 pada tahun 1973, merupakan sebuah negara kecil yang amat menarik., karena Libanon adalah satu-satunya negeri di kawasan Arab yang setelah merdeka memiliki masyarakat mayoritas Kristen. Sebelum Perancis menjadikan Libanon sebagai daerah mandatnya, pada era Perang Dunia I dan kebelakang Libanon adalah daerah kekuasaan kekaisaran Ottoman selama empat abad lamanya, sehingga ketika mempersiapkan kemerdekaan Libanon, Perancis mengkonsep peta kekuatan pemerintahan berdasarkan perimbangan kekuatan masing-masing golongan masyarakat karena banyaknya golongan atau agama yang ada di Libanon.
Komposisi rakyat Libanon tidak homogen artinya terbagi dalam dua kelompok besar yaitu umat Kristen dan Muslim yang kemudian terbagi lagi kedalam kelmpok-kelompok kecil didalamnya. Golongan Kristen mencakup beberapa kelompok seperti Kristen Maronit “terbesar”, Yunani Ortodoks, Yunani Katolik, Armenia Ortodoks, Protestan dan beberapa kelompok kecil lainnya. Sedangkan golongan Islam terdiri dari kelompok Sunni, Siah, dan Druze (yang kemudian tidak termasuk golongan Islam karena ada beberapa ajarannya bertentangan dengan Islam) dan golongan lainnya.                           
Golongan-golongan yang sekarang mempunyai peranan penting dalam perjalanan politik Libanon adalah Maronit, Siah, dan Druze.Berbeda halnya dengan golongan yang lainnya, Maronit mendiami Libanon sejak abad ke- 7. Ini tidak bisa dilepaskan dari gelombang masuknya tentara-tentara Kristen dalam perang Salib di Timur Tengah untuk menyerang pasukan Islam. Golongan Siah baru masuk Libanon sekitar abad ke- 11, yang berasal dari umat Siah sekte Fatimiah dari Mesir, setelah mereka kalah terhadap dinasti Ayyub yang Sunni di Mesir. Beberapa orang-orang Siah kemudian membentuk sekte sendiri yaitu Druze yang diambil dari nama pemimpinnya yaitu Muhammad Al-Darazi (985-1021).Dan golongan Sunni masuk ke Libanon baru pada tahun 1289 setelah pasukan dari dinasti Mamluk, Mesir berhasil merebut Tripoli dan daerah-daerah pantai lainnya.
Ketika diadakan sensus penduduk pada tahun 1932, oleh pemerintah Perancis, terlihat mayoritas penduduk Libanon dari golongan Maronit, yang bertahan kemayoritasannya hingga tahun 1975. Hasil sensus penduduk ini dipakai untuk menyusun kekuatan nasional atau Pakta Nasional (al-mithaq al-wathani) 1943 ketika Libanon diberikan kemerdekaan, dan berdasarkan konstitusi Mei 1926, tentang struktur politik Libanon bahwa hak legislatif berada di tangan parlemen dan hak eksekutif berada pada presiden. Berdasarkan hasil tersebut, maka diatur sedemikian rupa prseiden dari golongan Maronit, Perdana Menteri dari golongan Sunni, dan Ketua Parlemen dari golongan Siah. Ketika terjadi suatu Pakta Nasional, pemimpin-pemimpin umat Kristen dan Muslim membuat suatu kesepakatan yang menyebutkan bahwa persaudaraan seluruh rakyat yang berlandaskan pada kemerdekaan Libanon. Umat Kristen mengakui dan menghormati watak Arab Libanon dan melepaskan keterikatan mereka dengan negara-negara Barat sedangkan umat Muslim berjanji untuk membela kedaulatan negeri dan melepaskan tuntutan untuk bersatu dengan Suriah atau negara-negara Arab lainnya. Adapun komposisi di parlemen adalah 99 orang yang terdiri 30 Maronit, 20 Sunni, 19 Siah, 11 Ortodoks Yunani, 6 Druze, 6 Katolik Yunani, 5 Armenia dan 2 untuk golongan kristen lainnya.
Jadi, Perancis dalam menyiapkan struktur politik Libanon dengan apa yang disebut Pakta Nasional didasarkan pada distribusi agama yang terdapat dalam masyarakat Libanon. Sesungguhnya hal ini adalah kesalahan yang sangat fatal, karena dikemudian hari ketika terjadi ketimpangan sosial karena ekonomi dan semakin meningkatnya golongan Muslim yang membuat kaum Maronit tidak mayoritas lagi, menimbulkan akar dari Konflik berkepanjangan di Libanon. Konflilk yang awalnya terbatas pada pertentangan status-kuo, kini menjelma menjadi perang saudara, dan peramg saudara dalam saudara artinya didalam saudara sendiri masih terjadi perang dengan golongan yang ada didalamnya. Strategi Perancis ini merupakan bukti dari kegagalan terbesar dari nasionalisme mimetic yang memberikan khayalan kepada rakyat di bekas negara jajahan “mandat” mereka, bahwa mereka “Libanon”, dapat membangun kembali idebntitas maupun kemurnian mereka melalui bentuk negara-bangsa.    
    B. Kedatangan Bangsa Barat di Lebanon
 Awal berkecamuknya perang atau konflik yang terjadi di Libanon tentunya tidak bisa dilepaskan dari peranan Perancis membentuk negara Libanon. Libanon dalam sistem politiknya dibentuk berdasarkan pembagian perimbangan kekuatan golongan agama, menanamkan benih-benih perpecahan.
Kebijakan Perancis diperparah pula dengan politik diskriminasi sebelumnya terutama dalam bidang pendididikan. Golongan yang mendapat akses layak hanyalah dari Maronit, sehingga selanjutnya melahirkan jurang kepincangan sosial antara golongan Maronit yang kaya raya dengan golongan yang lain yang serba kekurangan.Serta faktor terakhir dari munculnya konflik di Libanon adalah kehadiran pengungsi-pengsungsi dari Palestina. Akibat dari perang Arab-Israel I tahun 1948-1949, rakyat Palestina mengalami Palestinians Diaspora atau Palestinians Exodus, yaitu pengungsian secara besar-besaran rakyat Palestina yang berjumlah sekitar 940.000 orang yang menyebar ke berbagai negara baik dibawah kontrol Arab maupun negara lain termasuk Libanon. Pada tahun 1948, persebaran pengungsi Palestina di Libanon mencapai 104.000, tahun 1967 setelah kekalahan Arab dalam The Six War Days, jumlahnya meningkat menjadi 161.000, tahun 1977 menjadi 260.000, dan tahun 1987 meningkat menjadi 350.000 orang. Bertambahnya orang-orang palestina ini, tentunya tidak diharapkan oleh golongan Maronit karena hal ini dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan antara Islam dan Non-Islam serta dengan adanya warga Palestina menyebabkan serangan Israel sering terjadi sehingga mengancam keamanan nasional. Sebaliknya, golongan Islam menyambut baik kedatangan warga Palestina atas dasar solidaritas keagamaan.   
  

 C. Kedatangan Berbagai Bangsa di  Lebanon
1)       Suriah
Awal Suriah melibatkan diri di Libanon sejak Januari 1976, tepatnya 9 bulan pasca meletusnya perang saudara di Libanon. Mulanya Suriah terlibat untuk berniat sebagai penengah dengan berusaha mendamaikan piha-pihak yang berkonflik, dan kemudian mulai aktif terlibat ketika golongan Islam dan Palestina hampir meraih kemenangan.
Tindakan Suriah dengan membantu golongan Kristen dalam perang saudara ini dikecam oleh negara-negara Arab yang lain dan Uni Soviet (penyuplai senjata Suriah), segera setelah itu negara-negara Arab mengehentikan bantuan-bantuan terhadap Suriah. Dalam posisi ini, Suriah tidak menginginkan pihak manapun yang menang, sehingga mencegah kemenangan Islam dan Palestina namun tidak membiarkan Kristen yang menang. Alasan dari Suriah dalam tindakan tersebut bisa dilihat dari dua sisi yaitu: (1) Dari sisi strategis, Suriah ingin menjadikan Libanon sebgai “buffer state” negara penyangga dari serangan Israel, karena selama perang Arab-Israel Suriah adalah negara yang paling banyak kehilangan wilayahnya seperti dataran tinggi Golan. (2) Dari sisi histioris, Suriah ingin membentuk Libanon yang sangat terpengaruh terhadapnya. Karena sebelum kedatangan imperialis Eropa, Libanon merupakan bagian integral dari Suriah pada zaman dahulu yang lebih dikenal dengan Suriah Raya atau negeri Syam, ketika masa kejayaannya, sehingga Pakta-Nasional ala Perancis sangat tidak disetujui oleh Suriah.
 Tercatat, sejak 11 tahun awal masuknya Suriah ke Libanon, 30.000 pasukan Suriah masih berada di Libanon. Kelompok-kelompok milisi dari golongan yang bertikai sendiri seperti Amal Siah, Druze, dan Sunni juga mendapat suplai senjata dan dana dari Suriah. Memang, tujuan Suriah menciptakan perdamaian di Lebanon dengan menancapkan pengaruhnya di Libanon belum usai, namun minimal Libanon suskes dijadikan buffer stat” terhadap serangan Israel.



2)      Israel
Sama halnya dengan Suriah, Israel melibatkan diri pada konflik Libanon karena ingin menjadikannya sebagai buffer state tapi terutama bukan dari Suriah, melainkan dari ancaman gerilyawan Palestinan di Libanon Selatan terutama pada 1970-an karena seringnya serangan dari Libanon Selatan Pada perkembangan berikutnya Israel juga mendukung gerakan pembebasan wilayah Libanon Selatan yang bersekutu dengan Israel.
Israel mulai terjun aktif dalam konflik Libanon sejak intervensinya pada Maret 1978. Tujuan utama dari intervensi ini adalah untuk melemahkan kedudukan gerilyawan palestina yang ada di Libanon Selatan selain juga mendukung Mayor Saad Hadad yaitu komandan SLA (yaitu milisi pecahan partai Phalangis “Maronit” yang mempunyai hubungan erat dengan Israel”) yang memplokamirkan negara Libanon merdeka di Libanon Selatan. Pasukan Israel baru ditarik mundur dari sana setelah kedatangan pasukan UNIFIL PBB (United Nations Interim Forces in Lebanon).
Juni 1982 Israel melancarkan intervensinya yang kedua dengan tidak hanya wilayah Libanon Selatan bahkan sampai ibu kota Beirut yang disokong oleh kekuatan tempur memadai dengan 3.500 tank serta pesawat tempur F-15 dan F-16. Operasi ini dinamakan dengan Operation Peace for Galilee, Operasi Damai Untuk Galilee. Bukan hanya kamp-kamp pengungsi Palestina saja yang diserang, pertempuran juga tidak bisa dihindari antara Israel dengan Suriah di lembah Beeka, sehingga Israel melawan gabungan pasukan Palsestina-Islam  dan Libanon-Suriah. Akibat dari inervensi Israel tersebut, akhirnya PLO memindahkan markas besarnya di Tunisia. 17 Mei 1983, akhirnya Israel menandatangani perjanjian tentang penarikan pasukan Israel dan jaminan keamanan bagi Israel. Namun dengan tekanan dari berbagai pihak, Amin Gemayel membatalkan perjanjian sepihak pada 5 Maret 1984. Namun hingga sekarang Israel masih melibatkan diri dengan mendukung gerakan SLA dan serangan terhadap kamp-kamp pengungsi Palestina


3)      Iran
Salah satu kebijakan pokok politik luar negeri Iran setelah meletusnya Revolusi Islam Iran adalah pembebasan Lebanon Selatan. Realisasinya adalah penyuplaian senjata dan peluru kepada kelompok Siah dan membentuk faksi Hezbollah dan Amal Syiah di Libanon dibawah pimpinan tokoh spiritual Siah, Seikh Hosein Mosawi. Tahun 1982, mengirim pasukan pengawal revolusi untuk melatih kaum Siah di Baalbeek untuk menggayang Israel. Dan ketika Israel melancarkan serangan ke Libanon Selatan, Iran mengirim 500 pasukan pengawal revolusi untuk memerangi Israel dan bantuan dana 500 juta dollar.
Beberapa kelompok milisi yang berafiliasi dengan pemerintahan Iran adalah Amal Siah, Hezbollah, dan Tauhid yang Sunni tetapi menghendaki pemerintahan model Islam Iran. Pada perkembangan selanjutnya, Hezbollah bisa berdiri sendiri meskipun tetap berhubungan dengan Dubes Iran di Damascus pada saat itu, Ali Akbar Muhtasyime. Pada tahun 1984 dan akhir tahun 1985 Iran mendorong kelompok-kelompok Islam untuk meningkatkan serangannya terhadap Israel sehingga pada akhir 1986, Israel menarik mundur pasukannya dari Libanon Selatan. Namun ketika Siah mengalami konflik intern di Libanon, Iran lebih condong ke Hezbolah dan Suriah pada Amal Siah. 1989, perubahan politik luar negeri Iran ditandai dengan terpilihnya Hashemi Rafsanjani sebagai presiden Iran dan memutuskan untuk tidak mentransfer Revolusi Islam Iran ke Libanon

        D. Pakta Nasional dalam Implikasinya bagi Lebanon
 Cikal-bakal perang saudara di Libanon mulai memuncak pada tahun 1958. Ketika Camille Chamoun berkuasa, dengan menerima (“Doktrin Eisenhower” dari AS pada tahun 1947). Pemerintahannya meninggalkan kesepakatan Pakta-Nasional yang telah disetujui oleh berbagai tokoh agama Libanon yang salah satunya adalah Libanon tidak memihak terhadap Barat Keadaan ini juga diperparah dengan banyaknya tantangan terhadap rencana Camille Chamoun, itu untuk mencalonkan diri kembali menjadi presiden padahal konstitusi Libanon tidak memperkenankan rencana tersebut. Dengan adanya intervensi dari AS untuk menghentikan konflik yang tentunya atas permintaan Chamoun, pada tanggal 23 September 1958 konflik dapat dihentikan, kemudian Fuad Chehab menjabat sebagai presiden.
   


















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
                 
 Perjalanan konflik Libanon ketika pecah perang saudara ternyata tidak bisa dilepaskan dari peranan negara-negara asing yang selain membantu suatu kelompok juga untuk mencapai tujuan mereka melalui kelompok-kelompok milisi yang bertikai di Libanon.
                  Suriah, turut campur dalam konflik Libanon mempunyai tujuan untuk menjadikan Libanon sebagai buffer state terhdap serangan Israel dan tentunya untuk mewujudkan Libanon yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Suriah untuk membangkitkan kembali Suriah Raya atau negeri Syam. Tidak berbeda jauh dengan Suriah, Israel melibatkan diri di Libanon juga untuk menjadikannya sebagai buffer state, namun tidak dari serangan Suriah melainkan dari serangan para gerilyawan Palestina yang setiap saat mengancam keselamatan jiwa rakyat Israel, serta tujuan lain dari Israel yaitu mendukung pendirian negara Libanon Merdeka yang bersekutu dengan Israel.
                Lain Suriah, lain Israel, lain lagi dengan Iran. Iran melibatkan diri pada konflik Libanon bertujuan untuk mendukung pembebasan wilayah Libanon Selatan baik dari pendudukan Israel dan kedaulatan Libanon. Iran juga mendukung perjuangan gerilyawan Palestina untuk mengganyang Israel. Iran juga ingin mewujudkan Libanon sebagai negara yang melanjutkan Revolusi Islam ala Iran di Libanon yang didukung oleh beberapa kelompok Islam di Libanon.
                Konflik di Libanon, berlangsung lama karena didalamnya ditumpangi oleh berbagai kepentingan, yang bukan hanya golongan namun juga kepentingan suatu negara. Semoga kedamaian yang telah dicapai saat ini dengan terpilihnya Michel Suleiman sebagai presiden sementara, dan pengesahan Undang-Undang Baru yang akan diberlakukan pada Pemilu 2009 nanti memberikan jalan keluar bagi masyarakat supaya tidak terjerumus pada limbah perang suadara yang pernah terjadi.                                   




DAFTAR PUSTAKA

#  Dipoyudo,kirdi.1981.Timur Tengah Pusaran Strategis Dunia.CSIS: Jakarta.
#  B.Wolters.1954.Sejarah Umum 3 Asia dan Dunia sejak 1500. G.Roningen : Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar