Minggu, 28 Juli 2013

SOEDJINAH, MEMANJAT LICINNYA PINANG KEHIDUPAN DI BALIK TERALI BESI


SOEDJINAH,
MEMANJAT LICINNYA PINANG KEHIDUPAN
DI BALIK TERALI BESI
Oleh: Ida Nur Azizah[1]

Perang Kemerdekaan sedang berkecamuk, cucuran darah dan keringat para pahlawan bangsa terus mengalir bagai lautan merah. Pertempuran di Daerah Ampel dekat Salatiga hingga Tengaran telah usai. Kini saatnya aku bangkit kembali membela tanah airku.
Tapi tragedi September 1965 datang menghampiriku. Malam 30 September aku bersama teman-teman diminta menjahit pita warna-warni dan pakaian seragam Prajurit Bangsa sampai larut malam. Malam itu, tidak ada satupun kejadian yang mencurigakan. Kami bekerja dalam mempersiapkan Pergerakan demi pembebasan Irian Barat.
Saat tengah malam, aku dikejut
Siang hari tanggal 1 Oktober 65, aku dikejutkan dengan warta berita tentang peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal di Lubang Buaya dan keterlibatan Gerwani dalam peristiwa tersebut. Dikatakan bahwa anggota Gerwani menari-nari telanjang dada didepan para jenderal kemudian memotong buah zakar pada jenderal Pahlawan Revolusi. Karena tuduhan tersebut, semua anggota Gerwani dan orang-orang yang terkait dengan PKI maupun Gerwani ditangkap, dibunuh, dan dipenjara.
Aku benar-benar tidak tahu menahu tentang itu, bulan september kami melakukan sidang tiga kali, akan tetapi sama sekali tidak membahas akan dilaksanakan Gerakan 30 September. Aku beranjak dari kursi dan mendatangi kantor CC PKI dan DPP Gerwani, akan tetapi kantor tersebut sudah dirusak massa. Kemudian aku berkeliling menyelinap dari tempat satu ke tempat lainnya.
Selama 5 bulan aku menjadi buronan rezim Soeharto. Kantor DPP Gerwani sudah dijarah, rumahku sudah dikosongkan, aku berkeliling menginap secara sembunyi-sembunyi di rumah kenalan dan saudara. Aku juga pernah tinggal di rumah Kolonel Suwondo yang dikenalnya sebagai pendukung Bung Karno. Betapa besar kekejaman rezim militer Soeharto terhadap ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang tidak bersalah tetapi dituduh menjadi dalang G30S.
Akhirnya, aku ditangkap pada 17 Februari 1967 bersama temanku di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tenyata teman-temanku juga bernasip sama. Aku bertemu dengan Soelami, Soeharti, dan Sri Ambar. Kami dan yang lainnya disiksa, ditelanjangi, dan dipukuli dengan rotan oleh delapan tentara berbaju loreng. Saat itu, aku hampir mati dan aku berpura-pura mati sehingga salah satu tentara menghentikan penyiksaan terhadapku.
Lubang-lubang kuburanku dan teman-teman seperjuangan sudah dipersiapkan dibelakang halaman gedung penyiksaan. Tapi aku selamat darinya, Aku bersama ketiga temanku yaitu Soelami, Soeharti, dan Sri Ambar yang tidak mati dalam ruang penyiksaan akhirnya dibawa ke tempat lain secara berpindah-pindah hingga lima kali.
Hanya satu tempat yang masih aku ingat yaitu Kodam Jakarta, kantor CPM Guntur. Kemudian aku di bawa ke Bukitduri kemudian di ajukan ke pengadilan. Karena dianggap sebagai kader yang berbahaya, aku dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi. Bukitdurilah yang mempertemukan aku dan teman-teman seperjuanganku semasa Gerwani.
Bukitduri mengajarkaknu banyak pengalaman dan kebenaran. Kebenaran mulai diceritakan dari anak-anak perempuan muda yang ditangkap di Lubang Buaya. Mereka adalah sukarelawan Dwikora dari Pemuda Rakyat yang sedang mengikuti latihan di Libang Buaya. “Adegan menari-nari di depan Jenderal, memotong kemaluan, bahkan mencukil mata para Jenderal tidak pernah kulakukan. Bahkan aku yang diperkosa oleh aparat”. Ujar salah satu dari mereka.
Aku merasa menyesali keberadaanku saat tragedi G30S terjadi. Aku merasa gagal memperjuangkan martabat perempuan. Sampai sekarangpun di belakang terali besi aku hanya bisa bernafas dalam lubang kecil yang rapat. Mengurus diri sendiri saja sudah tak mampu, apalagi memperjuangkan nasib mereka.Dua sendok nasi atau 40-60 butir jagung yang aku makan seharinya. Bahkan ketika aku diberi kesempatan untuk keluar sebentar dengan penjagaan ketat, aku pernah makan daun seadanya untuk menahan rasa laparku.
Selama 8 tahun aku menikmati indahnya neraka di balik isolasi penuh untuk menunggu keputusan pengadilan. Tahun 1975, aku dijatuhi hukuman 18 tahun penjara dengan bukti penyebaran buletin PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno) yang nyata menentang Suharto-Nasution. Aku bersama Soelami, Soeharti, dan Sri Ambar dijatuhi hukuman masing-masing. Tetapi sesama aktifis Gerwani seperti Tanti Aidit, Ny. Mudigdo, dan Umi Sardjono mampu lepas dari pengadilan karena tidak ada bukti apapun.
Penjara Tangerang merupakan perjalananku kedua setelah Bukitduri. Tapi Tangeranglah yang telah memberikanku kesempatan untuk menulis semua yang aku alami dan pengalaman sesama tahanan, bahkan para gadis yang tertangkap di Lubang Buaya dan dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani. Aku meletakkan kata demi kata tentang cercaan Eks-tapol, kejamnya terali besi, ketidakadilan negeri ini sampai kejamnya rezim Orde Baru di bawah bendera Suharto.
Awalnya aku harus selalu mengendap-endap mencuri kertas dan kemudian menulisnya di toilet dalam sel. Akan tetapi ternyata keberuntungan mulai menghampiriku karena aku diberi tugas membuat desain untuk kain bordir yang akan dikerjakan sesama tahanan wanita. Dengan begitu, aku bisa menyembunyikan beberapa kertas yang diberi oleh petugas untuk membuat desain. Satu per satu tulisanku baik berupa cerita pendek, puisi, maupun pengalaman aku selundupkan melewati seorang wartawan dari Harian Sinar Harapan (sekarang Suara Pembaruan) yang menyamar sebagai seorang arsitek dan tukang bengunan.
Penjara Tangerang bagai sinar yang mulai menatap wajahku. Sebagai tahanan kriminal, aku mendapat kebebasan untuk memberikan bimbingan dan pelajaran bahasa Inggris kepada para tahanan lainya. Banyak dari mereka memanggilku dengan sebutan “mami”. Wajah lugu mereka selalu membuatku merasa lebih beruntung dibanding yang lain.
Selama 16 tahun berada di penjara akhirnya tahun 1983, aku dinyatakan bebas. Namun aku masih dikenai wajib lapor diri di Kodim Jakarta Selatan sampai 1997. KTP ku juga masih diberi stigma “ET” sampai 14 tahun kemudian. Aku tinggal bersama Widodo, saudaraku yang juga pernah mendekam di pulau Buru. Karena stigmasi KTP ini, aku tidak bisa bekerja pada instansi pemerintahan sehingga aku hanya bisa menyambung hidupku dari pekerjaan sebagai guru les bahasa Belanda dan bahasa Inggris.







[1] Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNY. Karya ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia Kontemporer yang di ampu oleh Rhoma Dwi Aria Y. M.Pd dan Sardiman A.M, M.Pd sebagai tugas Ujian Tengah Semester.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar