Jumat, 26 Juli 2013

UPACARA TUKSI BEDUG


 UPACARA TUKSI BEDUG
Oleh: Ida Nur Azizah

1.      Upacara Tuksi Bedug
Upacara adat sebagai salah satu bentuk ungkapan budaya dan tradisi yang masih banyak dilestarikan oleh masyarakat. Budaya dan tradisi merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan masyarakat sejak dulu.
Sejak zaman prasejarah, upacara ini diyakini sebagai wujud kesetiaan masyarakat terhadap kebesaran Tuhan Yangb Maha Esa. Upacara tuk si bedug ini bentuk keteguhan masyarakat Margodadi terhadap warisan budaya leluhur yang didasari oleh kepercayaan kepada hal- hal yang gaib. Seperti: roh nenek moyang ataupun tempat- tempat tertentu yang diyakini membawa berkah bagi kehidupan manusia di dunia.
Tujuan dari upacara ini bagi masyarakat ialah agar mendapat kebaikan dan keselamatan dunia akhirat serta menghindarkan diri dari malapetaka.
Upacara Tuk Si Bedug dilaksanakan pada hari jum’at pahing bulan jumadil akhir/ bulan juli di dusun mranggen. Pelaksanaanya menggunakan sesaji- sesaji yang di sediakan untuk para arwah leluhur. Sesaji ini mempunyai makna simbolik bagi masyarakat mranggen. Misalnya: kemenyat, bunga tujuh rupa, api, dan sebagainya.
Kaitan antara tradisi ini dengan tradisi masyarakat prasejarah ialah kepercayaan masyarakat terhadap arwah nenek moyang(Animisme) dan tempat- tempat tertentu yang dianggap keramat(Dinamisme) oleh masyarakat sampai sekarang ini didusun mranggen, sayegan, sleman, yogyakarta.
Menurut kepercayaan yang diyakini masyarakat sang arwah nenek moyang akan senantiasa memberi hasil panen yang mrelimpah terhadap penduduk sekitar. Selain itu, tempat yang dikenal dengan tuk ini juga merupakan tempat keramat yang diyakini masyarakat membawa berkah berupa air/ tuk yang senantiasa dibutuhkan bigi kehidupan manusia.
Upacara Tuk Si Bedug hingga sekarang masih dilakukan masyarakat pendukungnya, didusun Mranggen, Margodadi, Sayegan, Sleman, Yogyakarta. Upacara ini mempunyai makna sejarah bagi bangsa Indonesia dan masyarakat margodadi khususnya.

Tradisi pemujaan terhadap arwah nenek moyang merupakan cirri khas dari tradisi Mesolithikum, neolithikum dan megalithikum. Tradisi ini berlangsung dan berkembang terus- menerus sejak ribuan tahun yang lalu bahkan sampai sekarang.
Pemujaan ini dilator belakangi oleh anggapan bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal itu masih hidup di dunia arwah. Arwahnya juga diyakini bersemayam ditempat yang diangngap suci.

2.      Pembuatan Gerabah

Gerabah adalah jenis benda yang khusus terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan tingkat suhu tertentu. Gerabah mulai dikenal sejak zaman neolithikum(masa bercocok tanam) kisaran waktu 4.500 – 2.500 SM. Gerabah yang dikenal sejak zaman prasejarah ini ternyata masih dapat kita jumpai sisa-sisanya. Paling tidak teknik pembuatannya masih berlanjut hingga sekarang. Sebagai contoh: di Pamosongan, Ciledug, Cirebon.
Masyarakat disini giat membuat benda dari tanah liat. Meskipun pembuatan gerabah memang cukup sederhana, mereka tidak mengenal alat Bantu tatap pukul dan roda putar. Keterampilan kedua tangannyalah yang sangat diandalkan dan diutamakan dalam mengolah adonan tanah liat hingga berwujud barang. Alat yang mereka gunakan hanya talenan (landasan dari kayu), kerokan dari kulit bamboo, dan penghalus dari batu.setelah diolah adonan kemudian dijemur dan dibakar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar