SEJARAH MASJID AGUNG
DEMAK
A. Letak Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak adalah sebuah
mesjid yang tertua di Indonesia. Masjid ini terletak di desa Kauman, Demak,
Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai pernah merupakan tempat berkumpulnya para
ulama (wali) penyebar agama Islam,
disebut juga Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa
khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah
Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak.
Bangunan yang terbuat dari kayu
jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m.
Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang
dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah
buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat
laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari
satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat
menjadi satu (saka tatal), merupakan
sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan
merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus.[1]
B. Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak
Kekuasaan politik yang
bercorak Islam di Jawa mulai muncul sekitar abad XV, yaitu dengan munculnya
kesultana Demak. Berdasarkan data sejarah,
Demak muncul setelah runtuhnya Majapahit. Ketika itu, wilayah-wilayah yang
berada dipesisir, antara lain Surabaya, Tuban dan Gresik berusaha mencoba
membebaskan diri dari ikatan politik dan ekonomi dari kerajaan Majapahit.
Ketiga pelabuhan tersebut merupakan daerah pelabuhan yang ramai, sehingga
banyak para pedagang yang singgah dipelabuhan untuk saling tukar menukar barang
dagangan[2].
Demaklah yang merupakan pusat kota yang sekaligus merupakan pelabuhan laut yang
sangat terkenal.
Salah
satu bukti kekuasaan bercorak Islam yaitu pertimbangan memadukan unsur–unsur
budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam, sudah menunjukkan adanya
akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur Islam, khususnya di Jawa. Apalagi pada awal
perkembangan agama Islam di Jawa dilakukan dengan proses selektif tanpa
kekerasan, sehingga sebagian nilai-nilai lama masih ada tetap diterima untuk
dikembangkan.
Setelah
kerajaan Majapahit runtuh, era baru kerajaan Islam pun mulai muncul di bumi
Nusantara. Ajaran Islam yang masuk tanpa kekerasan bersifat terbuka terhadap
unsur – unsur kebudayaan lama yang ada. Karena itulah wujud arsitektur Islam,
khususnya arsitektur masjid di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh faktor
sejarah, latar belakang kebudayaan daerah, faktor lingkungan serta adat
istiadat masyakakat setempat.[3]
Masjid
Agung Demak di Jawa Tengah misalnya, mempunyai nilai historis cukup penting
berkaitan dengan sejarah perkembangan agama Islam di Jawa. Legenda–legenda
muncul dari sejarah perkembangannya yang kemudian menempatkannya pada kedudukan
yang keramat bagi masyarakat yang menyakininya . Bangunan masjid ini berdiri di
atas lokasi sekitar alun–alun kota Demak. Wujud arsitekturnya menunjukkan
akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayan Hindu saat itu atap bangunannya
runcing ke atas dengan tiang–tiang penopang yang besar–besar dan tinggi.
Motif–motif hias tiang bangunannya nampak berhubungan dengan kebudayaan
Majapahit.[4]
Masjid Agung Demak merupakan masjid
bercorak Islam yang dibangun oleh para Wali yang berjumlah Sembilan (walisongo) dalam waktu satu malam.
Mengenai tahun pembangunan masjid ini masih banyak diperdebatkan para ahli
dengan sumber masing-masing. Sumber pertama berupa sumber tertulis berupa
babad, hikayat, maupun naskah kuno. Sedangkan sumber
kedua berupa prasasti dan candrasengkala yang sampai sekarang ini masih dapat
dilihat di masjid Demak.
Dalam babad demak tulisan
Atmodarminto disebutkan bahwa pembangunan masjid ini ditandai dengan
candrasengkala lawang trus guna ning
jalmi yang mengandung makna angka tahun 1399 saka atau 1477 Masehi. Juga
disebutkan dalam buku Nukilan Sedjarah Tcirebon disebutkan bahwa Masjid Agng
Demak dibangun oleh para wali dalam tahun yang sama dengan masjid Cirebon,
yaitu 1498.[5]
Candrasengkala berbentuk gambar
kepala naga dapat dilihat pada daun pintu utama dibagian depan masjid. Lawang/
pintu ini sering disebut lawang Bledeg
atau Pintu Petir. Pintu tersebut dibuat oleh Ki Ageng Selo yang menggambarkan
pencampuran 2 kebudayaan antara Majapahit(stupa) dan kebudayaan Cina (gambar
naga dibagian bawah). Bunyi dari Candrasengkala yang terdapat pada pintu
tersebut ialah Naga mulad salira wani
yang mengandung arti angka tahun 1388 S atau 1466 M[6].
Daun pintu yang sekarang merupakan tiruan dan yang asli disimpan di Museum.
Candrasengkala lainnya
terdapat pada dinding barat mihrab yang berbentuk hiasan kura-kura.
Candrasengkala ini menunjukkan angka tahun 1401 S atau 1479 M. sumber lainnya
ialah sebuah prasasti yang
memuat angka 1428 S. prasasti ini tertulis pada panil kayu yang sebelumnya
terletak di dinding sebelah dalam diatas pintu utama. Bunyi dari prasasti tersebut
ialah Hadeging masjid yasanipun para
wali, nalika dinten kamis Kliwon malem jumat legi tanggal 1 Dulkaidah tahun
1428 S/1506 M.[7]
Namun, tahun yang lebih
diyakini sebagai tahun berdirinya Masjid Agung Demak ialah tahun 1401 S/1479 M
yang didasarkan pada candrasengkala yang terdapat disebelah barat dinding
mihrab. Yakni berupa hiasan kura-kura yang memperlihatkan bagian kepala, badan,
empat kaki dan ekor.
BAB III
NILAI FILOSOFI MASJID
AGUNG DEMAK
A.
Konstruksi Bangunan
1.
Deskripsi Bangunan
a. Ruang utama
Ruang
utama berukuran 23,10 x 22,30 m. pintu masuk ruang utama ada tiga buah, yaitu
bagian tengan dan sisi kiri-kanan pintu tengah. Pintu tengah dari ruang utama
sering dikenal dengan lawang bledek
atau pintu petir yang memiliki dua daun pintu berukir. Motif ukiran berupa
tumbuh-tumbuhan, jambangan, sejenis mahkota, dan kepala binatang mitos dengan
mulut bergigi yang terbuka. Konon, kepala binatang itu menggambarkan petir yang
pernah ditangkap Ki Ageng Sela dan dibawa ke alun-alun Demak. Pintu tengah yang
ada sekarang ini merupakan pintu tiruan, sedangkan yang asli disimpan di museum
Demak karena kondisinya sudah aus.
Diatas
pintu utama ini terdapat prasasti jawa yang berbunyi “wit pambukakipun masjid Dema:k ing dinten adad: m: 9: : enjing tanggal
ping: 25 : jumadilawal: tahun jumakir: warsa::1769”[8].
Sedangkan pintu pintu samping berjumlah 4 buah yaitu di sisi timur ada dua
buah dan di sisi utara dan selatan masing sebuah. Jendela ada 10 buah yang
terletak di dinding timur. Dinding ruang utama terbuat dari pasangan bata yang
diplester.
Ruang
utama memiliki 4 buah sokoguru dari kayu jati dan 12 buah saka rawa. Menurut
babad Tanah Jawi, keempat saka itu dibuat oleh para wali, yaitu Sunan Gunung
jati, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga. Diantara keempat sakaguru
tersebut, ada cerita unik mengenai sakaguru Sunan Kalijaga. Konon, sakaguru
yang dibuat Sunan Kalijaga terdiri dari potongan-potongan kayu yang disebut tatal [9].
Kumpulan tatal ini diikat dengan rumput rawadan.
b. Serambi
Serambi
Masjid Agung Demak berupa ruang terbuka dengan atap limasan yang diperkuat
konstruksi kuda-kuda dari baja. Lantai serambi terbuat dari tegel teraso yang
berwarna putih. Bangunan ini memiliki delapan buah tiang utama berpenampang
bujur sangkar, terbuat dari kayu jati berukir, dan 24 pilar penampang lingkar
bujur sangkar dari pasangan bata berspesi. Kedelapan tiang tersebut menurut
legenda dibawa dari Keraton Majapahit, sehingga sering disebut dengan Saka Majapahit. Saka ini dipenuhi dengan
ukiran motif sulur, daun yang distilir dan tumpal.
Diruang
serambi terdapat dua buah Bedug dan kentongan kayu. Kentongan ini diletakkan
mendatar diatas kaki yang terbuat dari kayu. Kentongan yang lain
digantungkan pada gawangan Bedug.
Satu-satunya
dinding yang terdapat diruang ini ialah penyekat antara ruang shalat utama
dengan serambi tersebut. Atap serambi yang terbuat dari sirap berbentuk tumpang
serta berpuncak mustaka[10].
c. Mihrab
Pada
dinding mihrab sisi barat dipasang tegel porselin. Dinding mihrab ini terdapat
hiasan cekung berbentuk kura-kura. gambar yang memperlihatkan kepala, badan,
empat kaki, dan ekor. Gambar ini ditafsirkan sebagai sengkalan yang menunjukkan
angka 1401 Saka/1479 M,. yaitu tahun yang dianggap sebagai sengkala berdirinya
Masjid Agung Demak.
Dinding
diatas pintu mihrab diberi beberapa hiasan tempel yang berukir. Adapun motif
dari ukirannya ialah suluran-suluran dan kaligrafi arab yang berbunyi Allah.
d. Mimbar
Mimbar
masjid Agung Demak terbuat dari kayu jati yang terdiri dari:
§ Bagian dasar
Dibagian
ini terdapat tiga anak tangga dan
sepasang tiang penyangga disisi kanan kirinya, serta sepasang lagi disamping
sandaran. Dimuka tiang penyangga depan terdapat sepasang patung singa duduk
yang distilir dengan pola tumbuhan. Ujung-ujung tiang penyangga dihubungkan
oleh lengkung kalamakara dengan motif surya majapahit.
§ Tempat duduk dan sandaran
Terdapat
ukiran motif tumbuhan serta naga yang distilir.
§ Bagian atas
Mimbar
Masjid Agung Demak diletakkan diatas landasan pasangan bata setinggi 30 cm
diatas lantai ruang utama. Mimbar ditutup dengan bangunan kaca berkerangka kayu
yang dicat dengan warna kuning emas.
e. Pawestren
Pawestren
mempunya delapan tiang kayu, empat diantaranya adalah tiang asli dan diberi
tempelan kayu berukir.
f.
Maksurah
Maksurah
adalah bangunan kecil yang terlatak disebelah kiri pengimaman atau mihrab.
Maksurah berfungsi sebagai tempat shalat raja atau penguasa. Terbuat dari kayu
jati yang diletakkan diatas landasan pasangan bata. Dilengkapi pula dengan
pintu masuk dari sisi utara yang berukuran 67x156 cm[11].
pada dinding bagian atas ketiga sisinya terdapat prasasti dan kaligrafi
berhuruf yang berbunyi “mushola ini adalah tempat yang mulia untuk raja negeri
yang terkenal yaitu dengan nama raden Tumenggung Muslim yang memimpin kita
dengan kebaikan. Dan dilengkapi pula kalimat syahadat pada ambang pintu sisi
utara[12].
2.
Bangunan Lain
a.
Makam
Makam
yang terdapat di Masjid Agung Demak terletak dibelakang masjid. Sebagian berada
didalam cungkup dan sebagian berada diluar cungkup. Secara garis besar,
pengelompokan makam tersebut ialah:
§ Makam didalam cungkup
Cungkup
makam ini sering disebut dengan cungkup Sultan Trenggana. Bangunan ini berupa
bangunan tajub beratap tumpang dua. Diantaranya terdapat makam Sunan Prawoto,
Pati Unus, Pangeran Pandan, dan 11 makam yang belum dikenal.
§ Makam diluar cungkup
Jumlah
makam ada 68 buah yang sebagian besar merupakan makam baru. Ukuran panjang
jirat rata-rata 120-170 cm. diantara makam-makam tersebut, makam yang dikenal
ialah makam Raden Haryo Penangsang yang jiratnya berukuran 390 cm, lebar 56cm
dan tinggi 80 cm.
§ Makam di selatan masjid
Jumlah
makam ada 7, diantaranya yang terkenal ialah makam Maulana Malik Ibrahim yang
jiratnya terbuat dari pasangan bata. Ukuran jiratnya 250 x 40 x 15cm.
§ Makam di utara masjid
Kelompok
makam di utara masjid meliputi makam Raden Patah dan makam yang berada di
halaman sisi utara. Jumlah makamnya ada 50, diantaranya makam Darmokusumo yang
jiratnya berukuran 60x50x100cm[13].
nisan makam tersebut terbuat dari papan bata berujung lengkung kurawal dengan
puncak datar.
b.
Menara
adzan
Menara
terletak di halaman depan masjid sisi selatan dan dibuat dengan konstruksi baja
siku. Atap menara berbentuk kubah dengan hiasan bulan sabit serta
lengkung-lengkung pada dinding ruangannya. Untuk mencapai ruang atas terdapat
tangga naik dari papan kayu.
c.
Paseban
Terletak
di utara masjid yang berfungsi sebagai tempat ruang tunggu bagi para peziarah
yang akan masuk ke makam Sultan Trenggana dan Raden Patah.
Dan
bangunan lain seperti museum, BKM (Badan Kesejahteraan Masjid),tempat wudlu dan
sebagainya.[14]
3.
Rekonstruksi Bangunan
Menurut Serat Kandha, seorang raja Demak pada tahun jawa 1429 ( 1507 M ) tahun ketiga
pemerintahannya telah hadir pada peresmian mesjid raya di Demak. Keterangan
dalam serat kandha ini dapat untuk menjelaskan isi prasasti kayu yang memuat angka tahun untuk 1428
Saka (1506M), banyak orang menafsirkan angka tahun tersebut
adalah sebagai tahun peringatan pembagunan mesjid karena didalam prasasti tersebut terdapat juga kata-kata tentang
pembangunan sebuah mesjid karena dalam prasasti tersebut juga mengenai
pembangunan
mesjid. Mungkin angka tahun tersebut adalah angka tahun peringatan pemugaran. Tentunya pemugaran tersebut dilakukan dalam skala besar
raja demak sendiri berkenan hadir pada saat peresmiannya.[15]
Bentuk serambinya persegi panjang yang ditopang oleh 28 tiang penyangga.
Bagian yang masih tampak asli dari serambi adalah 8 buah tiang penyangganya.
Menurut tradisi kayu tiang tetsebut berasal dari majapahit dan sebagian
pemberian ayah raden patah, yaitu Brawijaya V. Tiang-tiang tersebut dipindahkan
kedemak pada masa pemerintahansultan Demak yang kedua. Di serambi ini juga terdapat bedug dan kentongan
tersebut juga mrupkan buatan para wali.
Terdapat 5 buah pintu yang menghubungkan antara bagian luar dengan bagian
utama, terdiri dari: tiga pintu terdapat di bagian depan (menghubungkan serambi dengan ruang utama) serta dua pintu lainnya
terdapat di tenggara dan timur laut (menghubungkan ruang utama dengan bagian
samping atau sisi uutara dan selatan). Menurut tradisi, banyaknya pintu 5 buah
ini melambangkan lima rukun Islam.[16]
Pada dinding sisi luar (diantara jendela dan pintu) yang
memisahkan serambi dengan ruang utama terbapat hiasan piring keramik. Jumlah
seluruhnya ada 60 buah, bentuknya sangat beragam dengan kombinasi warna biru
dan putih dan hiasan yang memenuhi bidangnya adalah berupa sulur-sulur daun.
Bentuk denah ruang utama yang asli adalah persegi empat
dan masing-masing dindingnya memiliki dua buah jendela dengan ukuran besar. Di
dalam ruangan utama ini terdapat 4 buah tiang yang berukuran besar yagn
menopang atapnya. Tinggi tiap saka guru adalah 19,5 meter dan masing–masing
dibuat oleh Sunan Bongan ( saka guru barat laut), Sungan Gunung Jati (saka guru
barat daya), Sunan Ampel (saka guru tenggara), dan Sunan Kalijaga (saka guru timur laut).
Saka guru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga dikenal sebagai saka tatal
yang terbuat dari potongan-potongan kayu ( bhs. Jawa: tatal). Menurut
keterangan bapak Sri Suparmo (Penilik
kebudayayan kecamatan Demak), bagian
saka guru yang terbuat dari tatal
hanya sepertiga bagian ke atas
saja, sedangkan sepertiga kebawah terbuuat dari kayu utuh seperti saka guru
yang lainnya. Hal tersebut diketahui pada saat dilakukan pemugaran pada tahun
1982. Pada saat itu juuga dilakukan penggantian saka guru yang telah rusak
karena rayap. Bagian-bagian saka guru yang asli (yang digantikan pada saat
pemugaran) masih disimpan dan dikumpulkan disebuah tempat didepan bangunan
Museum (disebelah utara mesjid).[17]
Selain 4 buah saka guru, didalam ruangan utama masih terdapat bagian-bagian lainnya yang memiliki nilai
arkeologis. Bagian tersebut adalah mihrab (pengimaman, mimbar, maksurah dan
tangga menuju loteng).
Bagian pengimaman ini diapit oleh mimbar disisi kanannya
(utara) dan maksurah disisi kirinya (selatan). Masyarakat sekitar menyebut
mimbar masjid agung demak dengan sebutan dampar kencono. Menurut tradisi,
dampar kencono tersebut merupakan tempat duduk atau singgahsana para sultan
pada masa kerajaan demak. Seluruh mimbar terbuat dari kayu dan diukir. Adapun
pola ukiran yang mendominasi ukiran mimbar ini adalah pola sulur-sulur daun.
Ukiran sulur-sulur daun pada bagian bawah sebelah depan membentuk makara yang
disamarkan. Ada juga ukiran berbentuk naga dan kuncup bunga teratai.
Adanya ukiran berbentuk naga, makara dan kuncup bunga
teratai tersebut mungkin dimaksudkan sebagai simbol asal-usul para sultan
demak, naga, yang yagn dikenal sebagai
binatang dalam mitodologi Cina mungkin disimbolkan sebagai puteri Champa (campa disamakan oleh banyak orang dengan Cina) yang
menurut tradisi adalah ibunda Raden Patah.
Sedangkan nekara dan kucup bunga teratai dikenal sebagai
ragam hias yang banyak ditemukan pada bangungan candi. Bangunan candi tersebut
banyak pula yang berasal dari masa Majapahit. Mungkin makara dan kincup bungan
teratai tersebut dimaksudkan sebagai simbol adanya hubungan darah antara para
sultan demak dengan para raja Majapahit.
Dimaksud dengan maksurah adalah ruangan khusus bagi raja
atau sultan untuk melakukan shalat, maksurah baisanya terdapat pada
mesjid-mesjid kuna yang berhubungan degnan kerajaan. Maksurah mesjid agung
demak bentuknya menyerupai sebuah rumah, berdengah persegi empat dan memiliki
atap. Masyarakat setempat menyebutnya
pasujudan. Keempat dindingnya terbuat dari kayuyang penuh ukiran. Pintu
terdapat di dinding bagian utara dan selatan. Pada dinding bagian darat dan
timur merupakan relung yang berupa jendela. Baik di dinding sisi utara maupun
selatan terdapat relung jendela semu yang mengapit pintu. Dibawah relung-relung
jendela terdapat panil-panil yang dipenuhi ukiran dengan pola geometris.
Tangga yang menuju loteng terdapat didekat pintu sebelah tenggara.
Seluruh bagiannya terbuat dari kayu dan berwarna cokelat tua. Dari loteng dapat
disaksikan susunan tatal yang merupakan bagian atas dari salah satu saka guru
(saka guru tatal).[18]
Masjid Agung Demak pernah
mengalami sedikitnya 10 kali usaha perbaikan. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan pada
tahun 1634 S (1710 M), Pakubuwono I memberi perintah untuk memperbaiki Masjid
Agung Demak dan mengganti sirapnya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda,
diadakan perbaikan terhadap masjid Agung Demak antara lain dengan memperkuat
tiang-tiang utama dengan jalan memberi pelapis kayu dan klem besi. Selanjutnya
usaha-usaha perbaikan yang dilakukan pada abad XX antara lain:
a)
Tahun
1924-1926 dilakukan penggantian serambi dan sirap masjid, penambahan konstruksi
kuda-kuda bagian atap masjid dan pembangunan menara dari besi
b)
1966-1969,
penggantian instalasi lstrik dan pagar depan, pembogkaran gapura depan,
pembuatan pagar keliling masjid, pembongkaran dan pembangunan kembali serambi
masjid.
c)
Tahun
1973-1974 pembetonan pada tembok masjid, penggantian sebagian sirap dan rehabilitasi
makam sultan
d)
Tahun
1982/1983-1987/1988, pemugaran dilakukan secara menyeliuruh dan terpadu oleh
Proyek Pembangunan Pemugaran Dan Pemeliharaan Pennggalan Sejarah dan Purbakala
Jawa Tengah.
B. Keunikan
Masjid Agung Demak
1. Pintu Bledeg
Pintu masuk masjid Demak memiliki lima
pintu yang mengingatkan manusia terhadap lima rukun Islam; syahadat, shalat,
puasa, zakat, dan haji. Bisa jadi, lima pintu juga melambangkan salat lima
waktu, yakni subuh, zuhur, ashar, magrib, dan isya. Tiga pintu utama berada di
bagian depan yang menghubungkan serambi dengan ruang utama dan pintu lainnya
berada di tenggara dan timur laut yang menghubungkan ruang utama dengan bagian
samping atau sisi utara dan selatan.
Salah satu dari kelima pintu tersebut
adalah pintu bledek yang merupakan
pintu utama masjid Demak, merupakan ukiran yang menceritakan Ki Ageng Selo yang
menangkap bledeg atau petir saat beliau mengerjakan sawahnya. Petir tersebut
beliau tangkap kemudian dimasukkan kedalam wadah. Kemudian untuk menunjukkan
kesaktiannya dipertontonkan didepan umum, kemudian datanglah seorang wanita
yang mendekati wadah petir tersebut dan
diberinya air. Maka terdengarlah gelegar suara keras dan kilatan cahaya yang
mengagetkan para warga yang menyaksikannya, dan hilanglah petir tersebut dari
wadahnya. Pintu ini menggambarkan dua unsur kebudayaan yaitu Majapahit dengan
gambar stupa di bagian atas dan kebudayaan Cina dengan gambar naga di bawah.
Pintu ini sekarang berada di museum Masjid Demak karena sudah aus.
Pintu Bledheg juga melambangkan tahun
berdiri masjid Demak dengan gambar petir di pintu masuk. Ini dianggap sebagai
candra sengkala memet (penanda waktu) berupa Naga Mulat Salira Wani, yang dirujukkan ke tahun 1388 Caka alias
1466 Masehi.
2. Jumlah Jendela
Terdapat enam jendela yang melambangkan
rukun Iman, yakni percaya kepada: Allah SWT, Para Rasul, Kitab, Malaikat,
Kiamat, dan Qada Qadar (takdir). Pada dinding luar di antara jendela dan pintu
yang memisahkan serambi dan ruang utama terdapat hiasan piring keramik, yang
berjumlah 60 buah. Bentuknya sangat beragam dengan kombinasi warna biru putih
dan hiasan yang memnuhi bidangnya adalah berupa sulur-sulur daun.[19]
3. Atap tumpang
Atap bersusun tiga masjid Demak
melambangkan orang yang beriman dimulai dari Mukmin, Muslim dan Muhsin (Iman),
serta Islam dan ihsan. Juga melambangkan tiga tingkatan dalam tasawuf yang dari bawah ke atas melambangkan Syariat, Tarikat,
dan Makrifat.[20]
4. Mustaka
Melambangkan makrifat. Bentuknya adalah
seperti daun pohon sukun sama dengan bentuk mustaka masjid di Jawa lainnya yang
mencerminkan akulturasi dengan kebudayaan Hindu.
5. Sokoguru
Terdapat 128 soko (tiang) guna menopang seluruh
bangunan,
tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah,
tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16
buah.
Para wali menggarap soko guru yang
menjadi tiang utama penyangga masjid. Namun, ada
empat wali yang secara khusus memimpin pembuatan soko guru lainnya,
yaitu: Sunan Bonang memimpin membuat soko guru di bagian barat laut;
Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian timur laut; Sunan Ampel
membuat soko guru di bagian tenggara; dan Sunan Gunungjati membuat soko guru
di sebelah barat daya. Dan salah satu keistimewaan adalah satu buah tiang
yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa
potong balok yang diikat menjadi satu (saka
tatal) yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Menurut cerita, saat itu Sunan
Kalijaga diberi tugas untuk menyumbangkan kayu. Namun setelah waktu yang
ditentukan tiba, murid-murid Sunan Kalijaga kebingunan karena kayu yang hendak
dijadikan penyangga kurang. Sunan Kalijaga tak kekurangan akal –entah ini masuk
akal atau tidak tapi kenyataannya ada– Beliau melihat serpihan kayu
dimana-mana. Lalu dengan keahliannya, Sunan Kalijaga menyatukan serpihan-serpihan
itu menjadi satu. Ajaib, serpihan itu pun bisa menyambung menjadi penyangga
yang tak kalah kuatnya dengan penyangga lain. Dari situlah sokoguru milik Sunan
Kalijaga disebut ‘Soko Tatal’ alias
‘Tiang Tatal’. Tiang seperti ini hanya terdapat di satu masjid lagi, yaitu
masjid Agung Cirebon, yang konon juga merupakan sumbangan Sunan Kalijaga.
Tinggi dari keempat sokoguru adalah
masing-masing 19,54 meter dan bergaris tengah 1.45 meter.[21]
C. Pelestarian
Masjid Agung Demak oleh Masyarakat
Demak merupakan salah satu kerajaan
Islam pertama di pulau Jawa, yang sampai saat ini masih mempunyai pengaruh yang
cukup besar bagi umat Islam di Jawa, khususnya Jawa Tengah. dalam hal siar
agama Islam yang dipelopori oleh Walisongo, kerajaan demak sering disebut sebagai
salah satu pusat penyebaran agama Islam pada waktu itu. Kebesaran Kerajaan
Demak dilambangkan dengan Masjid Agung Demak, kekuatan pasukan Demak yang telah
berhasil meruntuhkan kerajaan Majapahit dibawah kepemimpinan Raden Patah, serta
keberhasilan dalam menguasai pesisir utara pantai Jawa Barat di bawah pimpinan
Fatahillah Fakta diatas merupakan gambaran atas kebesaran kerajaan Demak pada
waktu itu dalam pengaruh kekuasaan wilayahnya.
Selain itu, dari berbagai penelitian dan
tulisan-tulisan para ahli dapat diketahui bahwa kerajaan Demak mempunyai
peranan politik, ekonomi, dan keagamaan yang sangat kuat terutama pada
masyarakat Jawa, diantaranya dukungan dari Walisongo dalam penyebaran agama
Islam yang membawa pengaruh cukup besar bagi perkembangan Islam itu sendiri di
pulau Jawa. Kontradiksi dengan fakta yang telah dikemukakan diatas, saat ini
keadaan dan keberadaan bekas-bekas kerajaan demak justru kurang begitu terawatt
kalau tidak boleh dikatakan memprihatinkan. Dari beberapa benda dan
artefak-artefak lain yang mempunyai nilai sejarah tinggi bagi kerajaan Demak,
hanya Masjid Agung Demaklah satu-satunya peninggalan artefak yang cukup lengkap
dan utuh. Alun-alun demak sebenarnya juga merupakan salah satu kompleks dari
artefak-artefak tersebut yang dahulu dibelah oleh jalan Daendels, tetapi saat
ini sudah dinormalisasi oleh pemerintah setempat.
Masjid Agung Demak serta alun-alun yang
terletak di depannya senantiasa memang akan selalu dipelihara dan dilestarikan
oleh masyarakat setempat terhadap kedua artefak tersebut. Hal itu berbeda
dengan bekas Karaton Demak yang sudah rata dengan tanah, dan tergusur oleh
kompleks perumahan dan pemukiman. Padahal dari segi nilai sejarah yang
dikandungnya, bekas Karaton Demak tersebut pantas untuk dilestarikan dan
dikonservasi. Sampai saat ini Masjid Agung Demak masih banyak dikunjungi oleh
sebagian besar umat Islam terutama dari Jawa.
Hal itu dikarenakan kebesaran Kerajaan Demak
dengan peninggalan Masjid Agung Demak masih melekat dibenak sebagian besar umat
Islam di Jawa, untuk selalu mengenang serta meneruskan ajaran yang disebarkan
oleh Walisongo. Dari banyaknya peziarah yang berkunjung ke Masjid Agung Demak,
ternyata kawasan tersebut memang cukup potensial untuk dikembangkan lebih
lanjut menjadi kawasan wisata keagaman, budaya dan pendidikan.
Dari data-data statistik yang dikeluarkan
oleh Dinas Pariwisata Provinsi Dati I Jawa Tengah tahun 1997, dapat diketahui
bahwa dalam satu tahun saja jumlah pengunjung yang berziarah ke Masjid Agung
Demak dan Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu mencapai 1.300.000 orang. Jumlah
tersebut termasuk besar bagi perkembangan pariwisata kota Demak itu sendiri
namun karena di kedua obyek wisata tersebut tidak dipungut biaya masuk, maka
sumbangan bagi pemerintah daerah setempat tidak begitu berarti, kecuali bagi
masyarakat setempat yang membuka toko maupun souvenir khas daerah Demak.
Bila obyek wisata tersebut di atas
dikelola secara leih menarik dan professional dengan diadakan berbagai atraksi
wisata yang lain, maka diharapkan jumlah wisatawan yang berkunjung akan bisa
lebih ditingkatkan lagi dan akan mampu memberikan kontribusi yang tidak sedikit
bagi masyarakat setempat. Dengan modal dasar berupa pengetahuan sejarah tentang
kerajaan Demak dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, maka pengembangan
kawasan wisata Masjid Agung Demak akan sangat relevan terutama bagi para
peziarah serta pemeluk agama Islam, siswa-siswa sekolah dasar dan menengah,
mahasiswa, serta para peneliti, baik asing maupun local yang mempunyai
kepentingan dan dedikasi terhadap keberadaan kerajaan Demak beserta
peninggalannya.
Berbagai pengetahuan sejarah dan
lingkungan setempat serta atraksi wisata yang bernafaskan islami dapat
ditampilkan disini, selain tentu saja atraksi-atraksi tradisional masyarakat
setempat serta atraksi-atraksi tradisional masyarakat setempat, kerajinan,
serta kesenian lainnya untuk lebih mengenalkan kabupaten Demak dalam lingkup
nasional bahkan internasional.
Taman wisata adalah suatu kawasan yang
ditata untuk dijadikan obyek kunjungan wisata, serta dibangun untuk
mengoptimalkan suatu obyek wisata yang telah ada agar lebih banyak lagi
dikunjungi wisatawan. Pariwisata sendiri mempunyai pengertian yang terkait erat
dengan perjalanan (traveling) bagi seseorang. Namun beberapa ahli membatasi
pengertian pariwisata sebagai suatu perjalanan yang sifatnya rekreatif dan
untuk memenuhi keingintahuan seseorang, serta tidak untuk suatu pekerjaan atau
untuk mendapatkan upah.
Berkaitan dengan hal di atas, maka
pengembangan Masjid Agung Demak dan sekitarnya bertujuan untuk memberikan
atraksi wisata yang menarik serta pelayanan yang optimal kepada para wisatawan.
Banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Masjid Agung Demak merupakan dasar utama
untuk mengembangkannya menjadi suatu kawasan wisata.
Disamping itu, tujuan yang tidak kalah
pentingnya adalah penyelamatan situs arkeologi Masjid Agung Demak dan situs
bekas kraton Demak dari ancaman kerusakan akibat dari perkembangan kota Demak
saat ini. Hal itu sangat jelas diberlakukan dalam UU No 5 Tahun 1992, tentang
perlindungan Benda Cagar Budaya, bahwa sebagai salah satu peninggalan
bersejarah maka kerajaan Demak beserta artefak-artefak yang ditinggalkannya
wajib memperoleh perlindungan dan pelestarian dari ancaman kerusakan serta
gangguan-gangguan dari luar.
Semua ini dilakukan berkenaan dengan
jasa yang cukup besar dari kerajaan Demak dalam membantu serta melindungi para
Walisongo pada proses masuknya agama Islam di tanah Jawa pada masa lampau.
Tentu saja kepentingan yang lain dari pemerintah setempat adalah adanya pemasukan
yang cukup besar dari sektor pariwisata untuk menunjang otonomi daerah serta
meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar lokasi wisata, serta masyarakat
Demak pada umumnya. Berkaitan dengan hal-hal di atas, pengembangan fasilitas
utama kawasan wisata yang direncanakan adalah fasilitas untuk menunjang
pengembangan pengetahuan sejarah dan pengetahuan agama seperti museum,
audiovisual, pusat Islam (Islamic Centre), perpustakaan, di samping
fasilitas-fasilitas lain seperti sarana rekreasi, souvenir, rumha makan,
parkir, sebgainya.
“Pengembangan Masjid Agung Demak dan
Sekitarnya Sebagai Kawasan Wisata Budaya”, untuk kemudian dijadikan sebagai
pedoman perancangan fisiknya. Sasarannya adalah menata Masjid Agung Demak dan
sekitarnya sebagai suatu kawasan wisata budaya, dengan mengembangkannya sesuai
dengan prinsip-prinsip dan criteria pengembangan yang bakku, dimana aspek-aspek
yang berpengaruh di antaranya adalah aspek kesejarahan, aspek potensi wisata,
serta aspek kebutuhan pengembangan kawasan wisata tersebut.
[1] Raharjo.1997.Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur
Sutra.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm.31
[2] Ibid.1997:26
[4]
Sumalyo,Yulianto.2000.Arsitektur Masjid
dan Monumen Sejarah Muslim.Yogyakarta:UGM Press. Hlm.506
[6]
Dirgo.Sabariyanto.1981.Babad Demak.Jakarta:Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Halm 39
[7]Raharjo.1997.Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur
Sutra.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Hlm.29
[8] Dirgo sabariyanto.Op.cit. Halm 40
[9] I.G.N Anom.1998.Masjid Kuno Indonesia.Proyek Pengembangan
Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan Pusat:Jakarta:Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Hlm:150.
[10] Ibid.1998:150
[12] I.G.N Anom.1998. Masjid Kuno Indonesia.Proyek Pengembangan
Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan Pusat.Jakarta:Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan hlm:151
[13] Uka Tjandrasasmita.op.cit: Hlm35
[14] I.G.N Anom.op.cit. Hlm:152.
[15]Rahardjo.1997. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur
Sutra.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm.29
[18] Ibid.1997. hlm.33
[19] Ibid.1997. hlm. 30
[20] Rheihan.http://indonesian-story.com//Keistimewaan
Masjid Agung Demak _ indonesian-story.htm
diakses tanggal 16 Desember 2010
jam 15:00
[21] Rheihan.http://indonesian-story.com/Keistimewaan
Masjid Agung Demak_indonesian-story.htm
diakses tanggal 16 Desember 2010
jam 15:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar