Jumat, 26 Juli 2013

KEUNIKAN MASJID AGUNG DEMAK


SEJARAH MASJID AGUNG DEMAK

A.   Letak Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak adalah sebuah mesjid yang tertua di Indonesia. Masjid ini terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai pernah merupakan tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam, disebut juga Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak.
Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus.[1]

B.   Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak
Kekuasaan politik yang bercorak Islam di Jawa mulai muncul sekitar abad XV, yaitu dengan munculnya kesultana Demak. Berdasarkan data sejarah, Demak muncul setelah runtuhnya Majapahit. Ketika itu, wilayah-wilayah yang berada dipesisir, antara lain Surabaya, Tuban dan Gresik berusaha mencoba membebaskan diri dari ikatan politik dan ekonomi dari kerajaan Majapahit. Ketiga pelabuhan tersebut merupakan daerah pelabuhan yang ramai, sehingga banyak para pedagang yang singgah dipelabuhan untuk saling tukar menukar barang dagangan[2]. Demaklah yang merupakan pusat kota yang sekaligus merupakan pelabuhan laut yang sangat terkenal.
Salah satu bukti kekuasaan bercorak Islam yaitu pertimbangan memadukan unsur–unsur budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam, sudah menunjukkan adanya akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur Islam, khususnya di Jawa. Apalagi pada awal perkembangan agama Islam di Jawa dilakukan dengan proses selektif tanpa kekerasan, sehingga sebagian nilai-nilai lama masih ada tetap diterima untuk dikembangkan.
Setelah kerajaan Majapahit runtuh, era baru kerajaan Islam pun mulai muncul di bumi Nusantara. Ajaran Islam yang masuk tanpa kekerasan bersifat terbuka terhadap unsur – unsur kebudayaan lama yang ada. Karena itulah wujud arsitektur Islam, khususnya arsitektur masjid di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh faktor sejarah, latar belakang kebudayaan daerah, faktor lingkungan serta adat istiadat masyakakat setempat.[3]
Masjid Agung Demak di Jawa Tengah misalnya, mempunyai nilai historis cukup penting berkaitan dengan sejarah perkembangan agama Islam di Jawa. Legenda–legenda muncul dari sejarah perkembangannya yang kemudian menempatkannya pada kedudukan yang keramat bagi masyarakat yang menyakininya . Bangunan masjid ini berdiri di atas lokasi sekitar alun–alun kota Demak. Wujud arsitekturnya menunjukkan akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayan Hindu saat itu atap bangunannya runcing ke atas dengan tiang–tiang penopang yang besar–besar dan tinggi. Motif–motif hias tiang bangunannya nampak berhubungan dengan kebudayaan Majapahit.[4]
Masjid Agung Demak merupakan masjid bercorak Islam yang dibangun oleh para Wali yang berjumlah Sembilan (walisongo) dalam waktu satu malam. Mengenai tahun pembangunan masjid ini masih banyak diperdebatkan para ahli dengan sumber masing-masing. Sumber pertama berupa sumber tertulis berupa babad, hikayat, maupun naskah kuno. Sedangkan sumber kedua berupa prasasti dan candrasengkala yang sampai sekarang ini masih dapat dilihat di masjid Demak.
Dalam babad demak tulisan Atmodarminto disebutkan bahwa pembangunan masjid ini ditandai dengan candrasengkala lawang trus guna ning jalmi yang mengandung makna angka tahun 1399 saka atau 1477 Masehi. Juga disebutkan dalam buku Nukilan Sedjarah Tcirebon disebutkan bahwa Masjid Agng Demak dibangun oleh para wali dalam tahun yang sama dengan masjid Cirebon, yaitu 1498.[5]
Candrasengkala berbentuk gambar kepala naga dapat dilihat pada daun pintu utama dibagian depan masjid. Lawang/ pintu ini sering disebut lawang Bledeg atau Pintu Petir. Pintu tersebut dibuat oleh Ki Ageng Selo yang menggambarkan pencampuran 2 kebudayaan antara Majapahit(stupa) dan kebudayaan Cina (gambar naga dibagian bawah). Bunyi dari Candrasengkala yang terdapat pada pintu tersebut ialah Naga mulad salira wani yang mengandung arti angka tahun 1388 S atau 1466 M[6]. Daun pintu yang sekarang merupakan tiruan dan yang asli disimpan di Museum.  
Candrasengkala lainnya terdapat pada dinding barat mihrab yang berbentuk hiasan kura-kura. Candrasengkala ini menunjukkan angka tahun 1401 S atau 1479 M. sumber lainnya ialah sebuah prasasti yang memuat angka 1428 S. prasasti ini tertulis pada panil kayu yang sebelumnya terletak di dinding sebelah dalam diatas pintu utama. Bunyi dari prasasti tersebut ialah Hadeging masjid yasanipun para wali, nalika dinten kamis Kliwon malem jumat legi tanggal 1 Dulkaidah tahun 1428 S/1506 M.[7]
Namun, tahun yang lebih diyakini sebagai tahun berdirinya Masjid Agung Demak ialah tahun 1401 S/1479 M yang didasarkan pada candrasengkala yang terdapat disebelah barat dinding mihrab. Yakni berupa hiasan kura-kura yang memperlihatkan bagian kepala, badan, empat kaki dan ekor.















BAB III
NILAI FILOSOFI MASJID AGUNG DEMAK

A.    Konstruksi Bangunan
1.      Deskripsi Bangunan
a.    Ruang utama
Ruang utama berukuran 23,10 x 22,30 m. pintu masuk ruang utama ada tiga buah, yaitu bagian tengan dan sisi kiri-kanan pintu tengah. Pintu tengah dari ruang utama sering dikenal dengan lawang bledek atau pintu petir yang memiliki dua daun pintu berukir. Motif ukiran berupa tumbuh-tumbuhan, jambangan, sejenis mahkota, dan kepala binatang mitos dengan mulut bergigi yang terbuka. Konon, kepala binatang itu menggambarkan petir yang pernah ditangkap Ki Ageng Sela dan dibawa ke alun-alun Demak. Pintu tengah yang ada sekarang ini merupakan pintu tiruan, sedangkan yang asli disimpan di museum Demak karena kondisinya sudah aus.
Diatas pintu utama ini terdapat prasasti jawa yang berbunyi “wit pambukakipun masjid Dema:k ing dinten adad: m: 9: : enjing tanggal ping: 25 : jumadilawal: tahun jumakir: warsa::1769”[8]. Sedangkan pintu pintu samping berjumlah 4 buah yaitu di sisi timur ada dua buah dan di sisi utara dan selatan masing sebuah. Jendela ada 10 buah yang terletak di dinding timur. Dinding ruang utama terbuat dari pasangan bata yang diplester.
Ruang utama memiliki 4 buah sokoguru dari kayu jati dan 12 buah saka rawa. Menurut babad Tanah Jawi, keempat saka itu dibuat oleh para wali, yaitu Sunan Gunung jati, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga. Diantara keempat sakaguru tersebut, ada cerita unik mengenai sakaguru Sunan Kalijaga. Konon, sakaguru yang dibuat Sunan Kalijaga terdiri dari potongan-potongan kayu yang disebut tatal [9]. Kumpulan tatal ini diikat dengan rumput rawadan.
b.    Serambi
Serambi Masjid Agung Demak berupa ruang terbuka dengan atap limasan yang diperkuat konstruksi kuda-kuda dari baja. Lantai serambi terbuat dari tegel teraso yang berwarna putih. Bangunan ini memiliki delapan buah tiang utama berpenampang bujur sangkar, terbuat dari kayu jati berukir, dan 24 pilar penampang lingkar bujur sangkar dari pasangan bata berspesi. Kedelapan tiang tersebut menurut legenda dibawa dari Keraton Majapahit, sehingga sering disebut dengan Saka Majapahit. Saka ini dipenuhi dengan ukiran motif sulur, daun yang distilir dan tumpal.
Diruang serambi terdapat dua buah Bedug dan kentongan kayu. Kentongan ini diletakkan mendatar diatas kaki yang terbuat dari kayu. Kentongan yang lain digantungkan  pada gawangan Bedug.
Satu-satunya dinding yang terdapat diruang ini ialah penyekat antara ruang shalat utama dengan serambi tersebut. Atap serambi yang terbuat dari sirap berbentuk tumpang serta berpuncak mustaka[10].
c.    Mihrab
Pada dinding mihrab sisi barat dipasang tegel porselin. Dinding mihrab ini terdapat hiasan cekung berbentuk kura-kura. gambar yang memperlihatkan kepala, badan, empat kaki, dan ekor. Gambar ini ditafsirkan sebagai sengkalan yang menunjukkan angka 1401 Saka/1479 M,. yaitu tahun yang dianggap sebagai sengkala berdirinya Masjid Agung Demak.
Dinding diatas pintu mihrab diberi beberapa hiasan tempel yang berukir. Adapun motif dari ukirannya ialah suluran-suluran dan kaligrafi arab yang berbunyi Allah.
d.   Mimbar
Mimbar masjid Agung Demak terbuat dari kayu jati yang terdiri dari:
§  Bagian dasar
Dibagian ini terdapat  tiga anak tangga dan sepasang tiang penyangga disisi kanan kirinya, serta sepasang lagi disamping sandaran. Dimuka tiang penyangga depan terdapat sepasang patung singa duduk yang distilir dengan pola tumbuhan. Ujung-ujung tiang penyangga dihubungkan oleh lengkung kalamakara dengan motif surya majapahit.
§  Tempat duduk dan sandaran
Terdapat ukiran motif tumbuhan serta naga yang distilir.
§  Bagian atas
Mimbar Masjid Agung Demak diletakkan diatas landasan pasangan bata setinggi 30 cm diatas lantai ruang utama. Mimbar ditutup dengan bangunan kaca berkerangka kayu yang dicat dengan warna kuning emas.
e.    Pawestren
Pawestren mempunya delapan tiang kayu, empat diantaranya adalah tiang asli dan diberi tempelan kayu berukir.
f.     Maksurah
Maksurah adalah bangunan kecil yang terlatak disebelah kiri pengimaman atau mihrab. Maksurah berfungsi sebagai tempat shalat raja atau penguasa. Terbuat dari kayu jati yang diletakkan diatas landasan pasangan bata. Dilengkapi pula dengan pintu masuk dari sisi utara yang berukuran 67x156 cm[11]. pada dinding bagian atas ketiga sisinya terdapat prasasti dan kaligrafi berhuruf yang berbunyi “mushola ini adalah tempat yang mulia untuk raja negeri yang terkenal yaitu dengan nama raden Tumenggung Muslim yang memimpin kita dengan kebaikan. Dan dilengkapi pula kalimat syahadat pada ambang pintu sisi utara[12].
2.      Bangunan Lain
a.    Makam
Makam yang terdapat di Masjid Agung Demak terletak dibelakang masjid. Sebagian berada didalam cungkup dan sebagian berada diluar cungkup. Secara garis besar, pengelompokan makam tersebut ialah:
§ Makam didalam cungkup
Cungkup makam ini sering disebut dengan cungkup Sultan Trenggana. Bangunan ini berupa bangunan tajub beratap tumpang dua. Diantaranya terdapat makam Sunan Prawoto, Pati Unus, Pangeran Pandan, dan 11 makam yang belum dikenal.
§ Makam diluar cungkup
Jumlah makam ada 68 buah yang sebagian besar merupakan makam baru. Ukuran panjang jirat rata-rata 120-170 cm. diantara makam-makam tersebut, makam yang dikenal ialah makam Raden Haryo Penangsang yang jiratnya berukuran 390 cm, lebar 56cm dan tinggi 80 cm.
§ Makam di selatan masjid
Jumlah makam ada 7, diantaranya yang terkenal ialah makam Maulana Malik Ibrahim yang jiratnya terbuat dari pasangan bata. Ukuran jiratnya 250 x 40 x 15cm.
§ Makam di utara masjid
Kelompok makam di utara masjid meliputi makam Raden Patah dan makam yang berada di halaman sisi utara. Jumlah makamnya ada 50, diantaranya makam Darmokusumo yang jiratnya berukuran 60x50x100cm[13]. nisan makam tersebut terbuat dari papan bata berujung lengkung kurawal dengan puncak datar.
b.    Menara adzan
Menara terletak di halaman depan masjid sisi selatan dan dibuat dengan konstruksi baja siku. Atap menara berbentuk kubah dengan hiasan bulan sabit serta lengkung-lengkung pada dinding ruangannya. Untuk mencapai ruang atas terdapat tangga naik dari papan kayu.
c.    Paseban
Terletak di utara masjid yang berfungsi sebagai tempat ruang tunggu bagi para peziarah yang akan masuk ke makam Sultan Trenggana dan Raden Patah.
Dan bangunan lain seperti museum, BKM (Badan Kesejahteraan Masjid),tempat wudlu dan sebagainya.[14]

3.      Rekonstruksi Bangunan
                 Menurut Serat Kandha, seorang raja Demak pada tahun jawa 1429 ( 1507 M ) tahun ketiga pemerintahannya telah hadir pada peresmian mesjid raya di Demak. Keterangan dalam serat kandha ini dapat untuk menjelaskan isi prasasti kayu yang memuat angka tahun untuk 1428 Saka (1506M), banyak orang menafsirkan angka tahun tersebut adalah sebagai tahun peringatan pembagunan mesjid karena didalam prasasti tersebut terdapat juga kata-kata tentang pembangunan sebuah mesjid karena dalam prasasti tersebut juga mengenai pembangunan mesjid. Mungkin angka tahun tersebut adalah angka tahun peringatan pemugaran. Tentunya pemugaran tersebut dilakukan dalam skala besar raja demak sendiri berkenan hadir pada saat peresmiannya.[15]
Bentuk serambinya persegi panjang yang ditopang oleh 28 tiang penyangga. Bagian yang masih tampak asli dari serambi adalah 8 buah tiang penyangganya. Menurut tradisi kayu tiang tetsebut berasal dari majapahit dan sebagian pemberian ayah raden patah, yaitu Brawijaya V. Tiang-tiang tersebut dipindahkan kedemak pada masa pemerintahansultan Demak yang kedua. Di serambi ini juga terdapat bedug dan kentongan tersebut juga mrupkan buatan para wali.
Terdapat 5 buah pintu yang menghubungkan antara bagian luar dengan bagian utama, terdiri dari: tiga pintu terdapat di bagian depan (menghubungkan serambi dengan ruang utama) serta dua pintu lainnya terdapat di tenggara dan timur laut (menghubungkan ruang utama dengan bagian samping atau sisi uutara dan selatan). Menurut tradisi, banyaknya pintu 5 buah ini melambangkan lima rukun Islam.[16]
Pada dinding sisi luar (diantara jendela dan pintu) yang memisahkan serambi dengan ruang utama terbapat hiasan piring keramik. Jumlah seluruhnya ada 60 buah, bentuknya sangat beragam dengan kombinasi warna biru dan putih dan hiasan yang memenuhi bidangnya adalah berupa sulur-sulur daun.
Bentuk denah ruang utama yang asli adalah persegi empat dan masing-masing dindingnya memiliki dua buah jendela dengan ukuran besar. Di dalam ruangan utama ini terdapat 4 buah tiang yang berukuran besar yagn menopang atapnya. Tinggi tiap saka guru adalah 19,5 meter dan masing–masing dibuat oleh Sunan Bongan ( saka guru barat laut), Sungan Gunung Jati (saka guru barat daya), Sunan Ampel (saka guru tenggara), dan Sunan Kalijaga (saka guru timur laut).
Saka guru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga dikenal sebagai saka tatal yang terbuat dari potongan-potongan kayu ( bhs. Jawa: tatal). Menurut keterangan bapak Sri Suparmo (Penilik kebudayayan kecamatan  Demak), bagian saka guru yang terbuat dari tatal hanya sepertiga bagian ke atas saja, sedangkan sepertiga kebawah terbuuat dari kayu utuh seperti saka guru yang lainnya. Hal tersebut diketahui pada saat dilakukan pemugaran pada tahun 1982. Pada saat itu juuga dilakukan penggantian saka guru yang telah rusak karena rayap. Bagian-bagian saka guru yang asli (yang digantikan pada saat pemugaran) masih disimpan dan dikumpulkan disebuah tempat didepan bangunan Museum (disebelah utara mesjid).[17]
Selain 4 buah saka guru, didalam ruangan utama masih terdapat bagian-bagian lainnya yang memiliki nilai arkeologis. Bagian tersebut adalah mihrab (pengimaman, mimbar, maksurah dan tangga menuju loteng).
Bagian pengimaman ini diapit oleh mimbar disisi kanannya (utara) dan maksurah disisi kirinya (selatan). Masyarakat sekitar menyebut mimbar masjid agung demak dengan sebutan dampar kencono. Menurut tradisi, dampar kencono tersebut merupakan tempat duduk atau singgahsana para sultan pada masa kerajaan demak. Seluruh mimbar terbuat dari kayu dan diukir. Adapun pola ukiran yang mendominasi ukiran mimbar ini adalah pola sulur-sulur daun. Ukiran sulur-sulur daun pada bagian bawah sebelah depan membentuk makara yang disamarkan. Ada juga ukiran berbentuk naga dan kuncup bunga teratai.
Adanya ukiran berbentuk naga, makara dan kuncup bunga teratai tersebut mungkin dimaksudkan sebagai simbol asal-usul para sultan demak, naga,  yang yagn dikenal sebagai binatang dalam mitodologi Cina mungkin disimbolkan sebagai puteri Champa (campa disamakan oleh banyak orang dengan Cina) yang menurut tradisi adalah ibunda Raden Patah.
Sedangkan nekara dan kucup bunga teratai dikenal sebagai ragam hias yang banyak ditemukan pada bangungan candi. Bangunan candi tersebut banyak pula yang berasal dari masa Majapahit. Mungkin makara dan kincup bungan teratai tersebut dimaksudkan sebagai simbol adanya hubungan darah antara para sultan demak dengan para raja Majapahit.
Dimaksud dengan maksurah adalah ruangan khusus bagi raja atau sultan untuk melakukan shalat, maksurah baisanya terdapat pada mesjid-mesjid kuna yang berhubungan degnan kerajaan. Maksurah mesjid agung demak bentuknya menyerupai sebuah rumah, berdengah persegi empat dan memiliki atap. Masyarakat  setempat menyebutnya pasujudan. Keempat dindingnya terbuat dari kayuyang penuh ukiran. Pintu terdapat di dinding bagian utara dan selatan. Pada dinding bagian darat dan timur merupakan relung yang berupa jendela. Baik di dinding sisi utara maupun selatan terdapat relung jendela semu yang mengapit pintu. Dibawah relung-relung jendela terdapat panil-panil yang dipenuhi ukiran dengan pola geometris.
Tangga yang menuju loteng terdapat didekat pintu sebelah tenggara. Seluruh bagiannya terbuat dari kayu dan berwarna cokelat tua. Dari loteng dapat disaksikan susunan tatal yang merupakan bagian atas dari salah satu saka guru (saka guru tatal).[18]
Masjid Agung Demak pernah mengalami sedikitnya 10 kali usaha perbaikan. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan pada tahun 1634 S (1710 M), Pakubuwono I memberi perintah untuk memperbaiki Masjid Agung Demak dan mengganti sirapnya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, diadakan perbaikan terhadap masjid Agung Demak antara lain dengan memperkuat tiang-tiang utama dengan jalan memberi pelapis kayu dan klem besi. Selanjutnya usaha-usaha perbaikan yang dilakukan pada abad XX antara lain:
a)         Tahun 1924-1926 dilakukan penggantian serambi dan sirap masjid, penambahan konstruksi kuda-kuda bagian atap masjid dan pembangunan menara dari besi
b)         1966-1969, penggantian instalasi lstrik dan pagar depan, pembogkaran gapura depan, pembuatan pagar keliling masjid, pembongkaran dan pembangunan kembali serambi masjid.
c)         Tahun 1973-1974 pembetonan pada tembok masjid, penggantian sebagian sirap dan rehabilitasi makam sultan
d)        Tahun 1982/1983-1987/1988, pemugaran dilakukan secara menyeliuruh dan terpadu oleh Proyek Pembangunan Pemugaran Dan Pemeliharaan Pennggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.

B.     Keunikan Masjid Agung Demak
1.      Pintu Bledeg
Pintu masuk masjid Demak memiliki lima pintu yang mengingatkan manusia terhadap lima rukun Islam; syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Bisa jadi, lima pintu juga melambangkan salat lima waktu, yakni subuh, zuhur, ashar, magrib, dan isya. Tiga pintu utama berada di bagian depan yang menghubungkan serambi dengan ruang utama dan pintu lainnya berada di tenggara dan timur laut yang menghubungkan ruang utama dengan bagian samping atau sisi utara dan selatan.
Salah satu dari kelima pintu tersebut adalah pintu bledek yang merupakan pintu utama masjid Demak, merupakan ukiran yang menceritakan Ki Ageng Selo yang menangkap bledeg atau petir saat beliau mengerjakan sawahnya. Petir tersebut beliau tangkap kemudian dimasukkan kedalam wadah. Kemudian untuk menunjukkan kesaktiannya dipertontonkan didepan umum, kemudian datanglah seorang wanita yang mendekati  wadah petir tersebut dan diberinya air. Maka terdengarlah gelegar suara keras dan kilatan cahaya yang mengagetkan para warga yang menyaksikannya, dan hilanglah petir tersebut dari wadahnya. Pintu ini menggambarkan dua unsur kebudayaan yaitu Majapahit dengan gambar stupa di bagian atas dan kebudayaan Cina dengan gambar naga di bawah. Pintu ini sekarang berada di museum Masjid Demak karena sudah aus.
Pintu Bledheg juga melambangkan tahun berdiri masjid Demak dengan gambar petir di pintu masuk. Ini dianggap sebagai candra sengkala memet (penanda waktu) berupa Naga Mulat Salira Wani, yang dirujukkan ke tahun 1388 Caka alias 1466 Masehi.


2.      Jumlah Jendela
Terdapat enam jendela yang melambangkan rukun Iman, yakni percaya kepada: Allah SWT, Para Rasul, Kitab, Malaikat, Kiamat, dan Qada Qadar (takdir). Pada dinding luar di antara jendela dan pintu yang memisahkan serambi dan ruang utama terdapat hiasan piring keramik, yang berjumlah 60 buah. Bentuknya sangat beragam dengan kombinasi warna biru putih dan hiasan yang memnuhi bidangnya adalah berupa sulur-sulur daun.[19]
3.      Atap tumpang
Atap bersusun tiga masjid Demak melambangkan orang yang beriman dimulai dari Mukmin, Muslim dan Muhsin (Iman), serta Islam dan ihsan. Juga melambangkan tiga tingkatan dalam tasawuf yang dari  bawah ke atas melambangkan Syariat, Tarikat, dan Makrifat.[20]
4.      Mustaka
Melambangkan makrifat. Bentuknya adalah seperti daun pohon sukun sama dengan bentuk mustaka masjid di Jawa lainnya yang mencerminkan akulturasi dengan kebudayaan Hindu.
5.      Sokoguru
Terdapat 128 soko (tiang) guna menopang seluruh bangunan, tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.
Para wali menggarap soko guru yang menjadi tiang  utama penyangga masjid. Namun, ada empat wali yang secara khusus memimpin pembuatan  soko guru lainnya, yaitu: Sunan Bonang memimpin membuat soko guru di bagian  barat laut; Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian timur laut; Sunan Ampel  membuat soko guru di bagian tenggara; dan Sunan Gunungjati membuat soko guru di  sebelah barat daya. Dan salah satu keistimewaan adalah satu buah tiang yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal) yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Menurut cerita, saat itu Sunan Kalijaga diberi tugas untuk menyumbangkan kayu. Namun setelah waktu yang ditentukan tiba, murid-murid Sunan Kalijaga kebingunan karena kayu yang hendak dijadikan penyangga kurang. Sunan Kalijaga tak kekurangan akal –entah ini masuk akal atau tidak tapi kenyataannya ada– Beliau melihat serpihan kayu dimana-mana. Lalu dengan keahliannya, Sunan Kalijaga menyatukan serpihan-serpihan itu menjadi satu. Ajaib, serpihan itu pun bisa menyambung menjadi penyangga yang tak kalah kuatnya dengan penyangga lain. Dari situlah sokoguru milik Sunan Kalijaga disebut ‘Soko Tatal’ alias ‘Tiang Tatal’. Tiang seperti ini hanya terdapat di satu masjid lagi, yaitu masjid Agung Cirebon, yang konon juga merupakan sumbangan Sunan Kalijaga.
Tinggi dari keempat sokoguru adalah masing-masing 19,54 meter dan bergaris tengah 1.45 meter.[21]

C.    Pelestarian Masjid Agung Demak oleh Masyarakat
Demak merupakan salah satu kerajaan Islam pertama di pulau Jawa, yang sampai saat ini masih mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi umat Islam di Jawa, khususnya Jawa Tengah. dalam hal siar agama Islam yang dipelopori oleh Walisongo, kerajaan demak sering disebut sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam pada waktu itu. Kebesaran Kerajaan Demak dilambangkan dengan Masjid Agung Demak, kekuatan pasukan Demak yang telah berhasil meruntuhkan kerajaan Majapahit dibawah kepemimpinan Raden Patah, serta keberhasilan dalam menguasai pesisir utara pantai Jawa Barat di bawah pimpinan Fatahillah Fakta diatas merupakan gambaran atas kebesaran kerajaan Demak pada waktu itu dalam pengaruh kekuasaan wilayahnya.
Selain itu, dari berbagai penelitian dan tulisan-tulisan para ahli dapat diketahui bahwa kerajaan Demak mempunyai peranan politik, ekonomi, dan keagamaan yang sangat kuat terutama pada masyarakat Jawa, diantaranya dukungan dari Walisongo dalam penyebaran agama Islam yang membawa pengaruh cukup besar bagi perkembangan Islam itu sendiri di pulau Jawa. Kontradiksi dengan fakta yang telah dikemukakan diatas, saat ini keadaan dan keberadaan bekas-bekas kerajaan demak justru kurang begitu terawatt kalau tidak boleh dikatakan memprihatinkan. Dari beberapa benda dan artefak-artefak lain yang mempunyai nilai sejarah tinggi bagi kerajaan Demak, hanya Masjid Agung Demaklah satu-satunya peninggalan artefak yang cukup lengkap dan utuh. Alun-alun demak sebenarnya juga merupakan salah satu kompleks dari artefak-artefak tersebut yang dahulu dibelah oleh jalan Daendels, tetapi saat ini sudah dinormalisasi oleh pemerintah setempat.
Masjid Agung Demak serta alun-alun yang terletak di depannya senantiasa memang akan selalu dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat setempat terhadap kedua artefak tersebut. Hal itu berbeda dengan bekas Karaton Demak yang sudah rata dengan tanah, dan tergusur oleh kompleks perumahan dan pemukiman. Padahal dari segi nilai sejarah yang dikandungnya, bekas Karaton Demak tersebut pantas untuk dilestarikan dan dikonservasi. Sampai saat ini Masjid Agung Demak masih banyak dikunjungi oleh sebagian besar umat Islam terutama dari Jawa.
 Hal itu dikarenakan kebesaran Kerajaan Demak dengan peninggalan Masjid Agung Demak masih melekat dibenak sebagian besar umat Islam di Jawa, untuk selalu mengenang serta meneruskan ajaran yang disebarkan oleh Walisongo. Dari banyaknya peziarah yang berkunjung ke Masjid Agung Demak, ternyata kawasan tersebut memang cukup potensial untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi kawasan wisata keagaman, budaya dan pendidikan.
Dari data-data statistik yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Dati I Jawa Tengah tahun 1997, dapat diketahui bahwa dalam satu tahun saja jumlah pengunjung yang berziarah ke Masjid Agung Demak dan Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu mencapai 1.300.000 orang. Jumlah tersebut termasuk besar bagi perkembangan pariwisata kota Demak itu sendiri namun karena di kedua obyek wisata tersebut tidak dipungut biaya masuk, maka sumbangan bagi pemerintah daerah setempat tidak begitu berarti, kecuali bagi masyarakat setempat yang membuka toko maupun souvenir khas daerah Demak.
Bila obyek wisata tersebut di atas dikelola secara leih menarik dan professional dengan diadakan berbagai atraksi wisata yang lain, maka diharapkan jumlah wisatawan yang berkunjung akan bisa lebih ditingkatkan lagi dan akan mampu memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi masyarakat setempat. Dengan modal dasar berupa pengetahuan sejarah tentang kerajaan Demak dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, maka pengembangan kawasan wisata Masjid Agung Demak akan sangat relevan terutama bagi para peziarah serta pemeluk agama Islam, siswa-siswa sekolah dasar dan menengah, mahasiswa, serta para peneliti, baik asing maupun local yang mempunyai kepentingan dan dedikasi terhadap keberadaan kerajaan Demak beserta peninggalannya.
Berbagai pengetahuan sejarah dan lingkungan setempat serta atraksi wisata yang bernafaskan islami dapat ditampilkan disini, selain tentu saja atraksi-atraksi tradisional masyarakat setempat serta atraksi-atraksi tradisional masyarakat setempat, kerajinan, serta kesenian lainnya untuk lebih mengenalkan kabupaten Demak dalam lingkup nasional bahkan internasional.
Taman wisata adalah suatu kawasan yang ditata untuk dijadikan obyek kunjungan wisata, serta dibangun untuk mengoptimalkan suatu obyek wisata yang telah ada agar lebih banyak lagi dikunjungi wisatawan. Pariwisata sendiri mempunyai pengertian yang terkait erat dengan perjalanan (traveling) bagi seseorang. Namun beberapa ahli membatasi pengertian pariwisata sebagai suatu perjalanan yang sifatnya rekreatif dan untuk memenuhi keingintahuan seseorang, serta tidak untuk suatu pekerjaan atau untuk mendapatkan upah.
Berkaitan dengan hal di atas, maka pengembangan Masjid Agung Demak dan sekitarnya bertujuan untuk memberikan atraksi wisata yang menarik serta pelayanan yang optimal kepada para wisatawan. Banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Masjid Agung Demak merupakan dasar utama untuk mengembangkannya menjadi suatu kawasan wisata.
Disamping itu, tujuan yang tidak kalah pentingnya adalah penyelamatan situs arkeologi Masjid Agung Demak dan situs bekas kraton Demak dari ancaman kerusakan akibat dari perkembangan kota Demak saat ini. Hal itu sangat jelas diberlakukan dalam UU No 5 Tahun 1992, tentang perlindungan Benda Cagar Budaya, bahwa sebagai salah satu peninggalan bersejarah maka kerajaan Demak beserta artefak-artefak yang ditinggalkannya wajib memperoleh perlindungan dan pelestarian dari ancaman kerusakan serta gangguan-gangguan dari luar.
Semua ini dilakukan berkenaan dengan jasa yang cukup besar dari kerajaan Demak dalam membantu serta melindungi para Walisongo pada proses masuknya agama Islam di tanah Jawa pada masa lampau. Tentu saja kepentingan yang lain dari pemerintah setempat adalah adanya pemasukan yang cukup besar dari sektor pariwisata untuk menunjang otonomi daerah serta meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar lokasi wisata, serta masyarakat Demak pada umumnya. Berkaitan dengan hal-hal di atas, pengembangan fasilitas utama kawasan wisata yang direncanakan adalah fasilitas untuk menunjang pengembangan pengetahuan sejarah dan pengetahuan agama seperti museum, audiovisual, pusat Islam (Islamic Centre), perpustakaan, di samping fasilitas-fasilitas lain seperti sarana rekreasi, souvenir, rumha makan, parkir, sebgainya.
“Pengembangan Masjid Agung Demak dan Sekitarnya Sebagai Kawasan Wisata Budaya”, untuk kemudian dijadikan sebagai pedoman perancangan fisiknya. Sasarannya adalah menata Masjid Agung Demak dan sekitarnya sebagai suatu kawasan wisata budaya, dengan mengembangkannya sesuai dengan prinsip-prinsip dan criteria pengembangan yang bakku, dimana aspek-aspek yang berpengaruh di antaranya adalah aspek kesejarahan, aspek potensi wisata, serta aspek kebutuhan pengembangan kawasan wisata tersebut.


[1] Raharjo.1997.Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm.31
[2] Ibid.1997:26
[3] Purwadi.2005.Makrifat Sejati Sunan Kalijaga.Yogyakarta:Media Abadi.hlm. 140
[4] Sumalyo,Yulianto.2000.Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim.Yogyakarta:UGM Press. Hlm.506
[5] Hariwijaya.2006.Sunan Ampel Penggagas Demak.Yogyakarta:Vission3.Hlm.28
[6] Dirgo.Sabariyanto.1981.Babad Demak.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Halm 39
[7]Raharjo.1997.Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Hlm.29
[8] Dirgo sabariyanto.Op.cit. Halm 40
[9] I.G.N Anom.1998.Masjid Kuno Indonesia.Proyek Pengembangan Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan Pusat:Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm:150.
[10] Ibid.1998:150
[11] Uka Tjandrasasmita.2009.Arkeologi Islam Nusantara.Jakarta:PT Gramedia Halm.35
[12] I.G.N Anom.1998. Masjid Kuno Indonesia.Proyek Pengembangan Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan Pusat.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hlm:151
[13] Uka Tjandrasasmita.op.cit: Hlm35
[14] I.G.N Anom.op.cit. Hlm:152.
[15]Rahardjo.1997. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm.29
[16] Ibid.1997. hlm.30
[17]  Ibid.1997. hlm.31
[18] Ibid.1997. hlm.33
[19] Ibid.1997. hlm. 30
[20] Rheihan.http://indonesian-story.com//Keistimewaan Masjid Agung Demak _ indonesian-story.htm  diakses tanggal 16 Desember 2010 jam 15:00


Tidak ada komentar:

Posting Komentar