Sejarah
pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan
Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh
pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia. Pendidikan dibuat
berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas.
Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak
Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi
berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa.
Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang
terus habis karena berbagai masalah peperangan.
Untuk
melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah
mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk
mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi
syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun
1864. Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah.
Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah
mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan
perusahaan. Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil
tanam paksa lebih efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para
ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari
lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan
golongan pribumi sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Pemerintah
Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak
Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor
ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia. Pendidikan selama penjajahan Belanda
dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde
Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie).
Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi
pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan
komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga
pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka
selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada
dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan
pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah
berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari
sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan
(Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini
yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas,
mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC
setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga
tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol.
Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya
di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan
penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil
alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa
kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan
yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di
Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung
dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi.
Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang
ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada
masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan
Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778,
dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi
pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata
pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi
pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas
tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual.
Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi
pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah
Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun
1630); Dll.
(2)
Sekolah Latin
Diawali dengan sistem
numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya,
selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa
Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent
ditutup tahun 1670.
(3)
Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon
pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun
1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1
belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi
dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah
materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya.
Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya.
Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini
hanya bertahan selama 10 tahun.
(4)
Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan
untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi
pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu,
Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik
kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5)
Sekolah Cina
1737 didirikan sekolah untuk
keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de
Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. Selanjutnya, sekolah ini berdiri
kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan
1787.
(6)
Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim
relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah
berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC
tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC
mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada
pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai
memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh
pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan
antara lain:
(1) Menjaga jarak atau tidak memihak
salah satu agama tertentu;
(2) Memperhatikan keselarasan dengan
lingkungan sehingga anak didik kelak mampu
mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial;
(3) Sistem pendidikan diatur menurut
pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.;
(4) Pendidikan diukur dan diarahkan
untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai
pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak
langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk
melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.
Jepang
membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan
semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan
kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang. Sistem penggolongan
dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan
perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idil hakko Iciu
yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama
Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan
indoktrinasi yang ketat.
Sejarah Belanda sampai
Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat
komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih
orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan
Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk
sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak
penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara
Indonesia setelah merdeka.
HINDU-BUDHA
Pada masa Hindu-Budha
ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia
setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang
diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu
kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti,
perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya
mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi
dan seminar. Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan
unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas.
Menjelang
periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks
yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan
jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual
religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan
bahwa:
(1) Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana
dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi;
(2) Bersifat
tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain;
(3) Kaum
bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana
disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru
tertentu;
(4) Pendidikan
kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya
masing-masing.
Tolong cepat direspon ya!? ^_^
BalasHapusBuku yang Anda pakai untuk pembahasan PENDIDIKAN ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA, judulnya apa ya? Dan tolong beri nama pengarangnya juga.
Terima Kasih ;-)