KEMELUT POLITIK MYANMAR TAHUN 1988
oleh: Ida Nur Azizah
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah
Dari sisi politik dan ekonomi, Myanmar sebenarnya
tidak masuk layar radar. Nama Myanmar mencuat sebatas sebagai negara ketiga
terbesar penghasil pengungsi di dunia, setelah Irak dan Afganistan.Negara
mantan jajahan Inggris di tengah kawasan segitiga emas (China, Laos, Thailand)
ini juga dikenal sebagai pemasok 90% opium Asia-Pasifik.
Panggung politik di Yangon memang sedang berada di titik kritis sejak awal
tahun menyusul absennya pemimpin junta militer Jenderal Than Shwe pada acara
makan malam Hari Kemerdekaan Myanmar 4 Januari 2007. Orang nomor satu di Myanmar itu
sudah sakit-sakitan dan kerap terbang ke Singapura untuk berobat. Rumor politik
pun berhembus kencang, termasuk soal adanya kudeta, kemelut politik yang pernah
mengguncang negara itu pada 1988
Ratusan ribu orang turun ke jalan,
baik di kota-kota maupun desa-desa, di seluruh Myanmar pada 8 Agustus 1988. Saat
itu mereka menuntut demokrasi di negara yang diperintah oleh para diktator
militer sejak 1962.Protes itu dikenal sebagai pemberontakan 8-8-88 karena berpuncak pada
8 Agustus.
”Saya telah kehilangan harapan sama
sekali bahwa perubahan akan datang melalui protes massa,” kata Min Aung, pembangkang di Yangon yang berdemonstrasi pada tahun 1988 dan pada
demonstrasi tahun lalu. ”Sulit untuk mengorganisasi demo sekarang karena
sebagian besar pemimpin ada di penjara atau bersembunyi,” lanjutnya.
Di Yangon, kota terbesar negara itu, satu-satunya tanda
menjelang ulang tahun peristiwa tersebut adalah ditingkatkannya pengamanan.
Ratusan polisi antihuru-hara ditempatkan di persimpangan jalan yang ramai.
Mereka bersenjatakan pentungan dan tabung gas air mata serta berpatroli dengan
truk.
Rezim militer yang telah memerintah
negara itu selama 46 tahun tidak memperlihatkan tanda-tanda akan runtuh walau
ada kecaman dan sanksi ekonomi internasional.
Presiden AS George W Bush, dalam
sebuah kunjungan ke negara tetangga Myanmar, Thailand, kemarin, mengimbau
diakhirinya ”tirani” di Myanmar. Istrinya, Laura Bush, mengunjungi sebuah kamp
pengungsi di Thailand
untuk bertemu beberapa dari mereka yang telah melarikan diri dari Myanmar, yang
dulu dikenal sebagai Burma.”Dua
puluh tahun telah berlalu dan semua masih sama atau mungkin semakin buruk di Burma,” kata
Laura Bush.
Demonstrasi 1988 itu memang
menjatuhkan diktator Ne Win yang lama memerintah, tetapi sebuah kelompok baru
jenderal menggantikan dia dan secara brutal menghancurkan demo-demo itu bulan
September, menewaskan sekitar 3.000 orang.
B.Rumusan masalah
- Bagaimana Keadaan Politik di Asia Tenggara Pada Tahun 1988?
C. Manfaat
1.
Mengetahui Keadaan Politik Asia Tenggara Pada
Tahun 1988.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Keadaan politik Myanmar
Meski
terkenal akan pelanggaran HAM, Myanmar
justru memiliki sejarah protes massa
yang panjang. Ketika Indonesia
bungkam dengan gerakan bawah tanah di era Soeharto, gelombang protes Myanmar justru
menguat sejak dimulainya masa pemerintahan militer Jenderal Ne Win. Tahun 1988,
gelombang protes massa
Myanmar
ini melibatkan pelajar, pejabat sipil, pekerja hingga para biksu Budha. Protes
hadir saat Ne Win menggunakan tentara bersenjata demi kudeta militer.
Protes
massa Myanmar memang
tak segaduh Amerika yang liberal. Dimana-mana rezim militer masih memegang
kendali sosial. Asia Times mencatat, gerakan protes umumnya mulai dalam jumlah
kecil dan tersebar. Tiga pihak yang melakukan pemberontakan, yaitu: komunis, sejumlah
etnis dan pedagang obat bius 1.
Demokrasi tidak bersemi lama di
Myanmar, hanya 14 tahun, mulai selepas merdeka 4 Januari 1948 hingga 1962 saat
Ne Win menggulingkan pemerintahan sipil PM U Nu dan kemudian membentuk junta
militer. Sejak itu nama harum Mynmar yang ditorehkan Aung San dan U
Thant-sempat menjabat Sekjen PBB–praktis sirna.
Ne Win bersama PM U Maung Maung Kha menjalankan politik
tangan besi, otoriter. Junta militer adalah sumber kebenaran. Meski demikian,
ekonomi negara tidak kunjung membaik, malah makin terpuruk. Roda ekonomi
digerakkan oleh pasar gelap. Jenderal itu sama sekali tidak memberi celah bagi
partisipasi politik warga sipil.Akibatnya, pada 1988 rakyat resah dan turun ke
jalan.
Suparman. Sejarah Asia Tenggara.halm. 70
Tak kurang dari 1.000 demonstran tewas akibat
bentrok dengan militer. Panggung politik gonjang-ganjing. Junta militer pecah
kongsi.
Aksi demo yang meluas membuat
Jenderal Saw Maung, salah satu kepercayaan Ne win, melakukan langkah politik
sepihak. Dia melengserkan Ne Win sembari terus memperkuat kekuasannya dengan
membentuk State Law and Order Restoration Council (SLORC) alias junta militer. SLORC
adalah badan yang pembentukan dan sistemnya serupa dengan Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) rezim Soeharto yang dibentuk 10 Oktober
1965.
Demi alasan kestabilan politik,
SLORC mengeluarkan rancangan hukuman mati bagi para demonstran. Lewat aturan
yang disahkan legislatif pada 31 Mei 1989, Saw tampaknya ingin bereksperimen
dengan demokrasi, yang kemudian terbukti hanya sebuah ‘kosmetika politik’.
Terbukti ketika partai pemerintah
dilibas habis oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu
Kyi yang merebut 392 kursi dari 489 kursi parlemen, pimpinan junta itu langsung
berubah pikiran. Kemenangan NLD dianulir sehingga membawa implikasi politik
yang tidak kecil kepada junta hingga hari ini.
Tanpa alasan yang jelas, Maung
mengundurkan diri pada 23
April 1992. Penggantinya adalah Than Shwe, sama-sama dari kelompok
militer.
Setahun memerintah, dia mengeluarkan aturan baru yang melonggarkan aturan-aturan terkait ekonomi, demokrasi, dan hubungan luar negeri.
Setahun memerintah, dia mengeluarkan aturan baru yang melonggarkan aturan-aturan terkait ekonomi, demokrasi, dan hubungan luar negeri.
Lewat jalur Kepala Intelijen Khin
Nyunt, Shwe melakukan gencatan senjata dengan para pemberontak dari etnis lokal
minoritas di pedalaman dan perbatasan, seperti Karen, Chin, dan Shan.Jenderal
ini terkesan lebih liberal dibanding pendahulunya. Buktinya, Shwe menjadi
pemimpin pertama Myanmar
yang mengizinkan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan Amnesti
Internasional masuk ke negara itu.Tapi urusan politik domestik sebenarnya sama
saja. Siapa berani melawan junta, bersiaplah menderita. Denyut politik
benar-benar di bawah todongan senjata.
Dengan alasan menjaga keamanan
nasional, junta militer mengenakan tahanan rumah bagi Aung San Suu Kyi hingga
hari ini. Bahkan demi menjaga ketertutupan Myanmar, pada 2004, Shwe mencopot
PM Khin Nyunt karena mencoba melakukan demokratisasi.
Junta militer Myanmar
berkilah, Nyunt sakit lalu mengundurkan diri dan digantikan Letnan Jenderal Soe
Win yang tetap orang dekat Shwe.Era Letjen Soe Win juga tidak menunjukkan
perbaikan. Myanmar
seolah tidak tersentuh dengan dinamika dunia luar. Hari demi hari ekonomi makin
terpuruk. Harga kebutuhan pokok, terutama BBM, kian tak terjangkau. Masyarakat
gerah dan mulai bergerak.
Demo damai ribuan bhiksu dan
masyarakat sipil-yang menuntut permintaan maaf pemerintah atas pembubaran unjuk
rasa kenaikan harga, dan menuntut perubahan ke arah demokratisasi-akhirnya
membawa korban. Aksi demo dibalas
dengan gaya
penumpasan ala militer yang brutal. Toh meski dikecam kiri-kanan, junta militer
pimpinan Shwe tak ambil pusing. Razia dilakukan di kuil-kuil, puluhan bhiksu
ditahan karena dianggap sebagai biang kerok ketidakstabilan politik.
Padahal ketiga tetangga Myanmar (China, India dan Thailand)
sangat mengharapkan krisis tersebut berakhir damai. China, yang kini getol membangun
ekonomi, khawatir kisruh jirannya itu akan berimbas ke daratan. Selain itu nama
besar China
dipertaruhkan di Olimpiade 2008. Status merah di perbatasan China-Myanmar bisa
membuat para atlet, pengunjung dan investor ciut nyalinya.
Sementara bagi India dan Thailand,
gejolak Myanmar
bisa membuyarkan perjanjian pasok gas dari negara itu ke pusat-pusat industri
mereka. Thailand
pun khawatir dengan urusan pengungsi Myanmar.
B. Kemelut politik di Myanmar Inilah inti perjuangan gerakan
prodemokrasi dalam rangka mengubah postur politik dan sistem negara itu ke arah
demokrasi sekaligus mengakhiri rezim junta militer Myanmar yang telah berkuasa sejak
1962. Sayang, embrio gerakan prodemokrasi yang ditebar dengan sabar oleh
tokohnya Aung San Suu Kyi senantiasa kandas di bawah tindakan represif dan
otoriter junta militer pimpinan Jenderal Than Shwe. Jenderal
Than Shwe seorang otoriter yang tidak segan-segan bertindak kejam dalam menumpas
gerakan perlawanan prodemokrasi. Than Shwe, seperti dikatakan Theodor Adorno, memiliki
personal trait dan kepribadian otoriter. Faktanya
dapat dilihat ketika ia membatalkan dan tidak mengakui kemenangan Aung San Suu
Kyi pada Pemilu 1990. Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) yang dipimpinnya
memenangi 392 dari 485 kursi di parlemen. Selain tidak mengakui, junta militer Myanmar bahkan
mengenakan tahanan rumah untukSan Suu Kyi hingga saat ini. Aksi demonstrasi
besar-besaran yang dimotori para biksu ini bisa kita katakan sebagai lonceng
dan isyarat bahwa Myanmar
dalam krisis politik. Para biksu di negara itu
memiliki pengaruh dan peran sangat sentral sebagai penjaga moral bangsa dan
negara. Dapat kita pastikan keterlibatan para biksu dalam aksi perlawanan
menentang pemerintah junta militer kali ini, karena mereka sudah tidak tahan
lagi melihat kesewenang-wenangan junta militer yang kejam dan kian
menyengsarakan rakyat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan Sejak
tanggal 18 Maret 1988 terjadi serangkaian demonstrasi besar yang
berdarah.Munculnya pemerintahan totalisme di Myanmar memang bukan tanpa alasan. Ancaman
utama negeri tersebut ialah pemberotakan yang berkepanjangan, sehingga
mengancam keutuhan negeri itu. Pemberontakan- pemberontakan tersebut disebabkan
oleh heterogenitas penduduk, kehidupan demokrasi, kemiskinan, separatisme,
pemberontakan kaum komunis, perdagangan obat bius, dan lain- lain.
B. Saran Kepada
masyarakat umumnya dan Myanmar
khususnya agar selalu menciptakan suasana persatuan dan kesatuan, sehingga
kehidupanpun tentram dan damai dalam satu wadah.Bagi para pembaca, kami
berharap kritik dan saran yang membangun untuk penyusunan makalah ini. Dan
untuk penyusun makalah berikutnya dapat menyempurnaan makalah ini sehingga
dapat bermanfaat bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. J.
Suparman. 1998. Sejarah Asia Tenggara.
Surakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia UNS.
Abadi, Setiawan.
1998. Kapitalis Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hall,
D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Usaha Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar